Terompet Tahun Baru

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti.

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline).

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden.

Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia yang Berkepanjangan

Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.

Latihan kader 1

Bergambar bersama setelah acara Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Budaya UGM

Tuesday, December 20, 2016

Napak Tilas Sejarah Kelahiran HMI



Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ungkapan fenomenal dari presiden RI pertama Soekarno ini selalu terngiang-ngiang di benak para alumni HMI. Pada hari Minggu, tepatnya pada 11 Desember 2016, KAHMI Forever Jalan Sehat (KFJS) chapter Yogyakarta beserta kader-kader HMI cabang Yogyakarta dan HMI Cabang Bulaksumur Sleman seperti biasa mengadakan jalan sehat rutin setiap bulan. Namun, jalan sehat pada kesempatan kali ini terasa lebih spesial dibandingkan sebelumnya, karena acara jalan sehat pada kesempatan ini bertajuk napak tilas atau niti laku perjalanan sejarah kelahiran HMI, yaitu dengan melewati rute jalan yang terdapat tempat-tempat yang memiliki arti dan nilai sejarah bagi HMI pada masa-masa awal kelahirannya. Adapun rute yang dilewati adalah jalan secodiningratan (sekarang bernama jalan Panembahan Senopati) tempat bekas gedung Sekolah Tinggi Islam (STI) berada, di mana Lafran Pane dkk memprakarsai berdirinya HMI pada 5 Februari 1947. Di tempat yang sama, kira-kira berjarak hanya beberapa meter di sebelah Barat bekas gedung STI, terdapat gedung yang dulu menjadi asrama mahasiswa STI dan juga menjadi kantor sekretariat pertama HMI setelah kelahirannya. Kini bekas gedung STI tersebut telah menjadi bangunan sekolah yang dikelola oleh yayasan Marsudirini.
Peserta KFJS berpose di depan SD Marsudirini (Bekas gedung STI) di jalan Panembahan Senopati (dulu bernama jalan Secodiningratan) Yogyakarta 

Bekas gedung asrama mahasiswa STI dan kantor sekretariat pertama HMI
Gedung STI yang kini telah menjadi bangunan sekolah yang dikelola Yayasan Marsudirini

Perjalanan lalu dilanjutkan menuju jalan Ahmad Dahlan, tempat kantor PB HMI pertama berada sebelum pindah ke Jakarta pada bulan Juli 1951. Kantor PB HMI pertama tersebut barada di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Konon, kantor PB HMI pertama masih menumpang tempat di gedung Muhammadiyah Yogyakarta. Perjalanan selanjutnya yaitu rute terakhir menuju tempat yang tak kalah fenomenal dan bersejarah, khususnya bagi para alumni HMI Yogyakarta, yaitu jalan Dagen 16. Di jalan yang besebelahan dengan jalan Malioboro ini dulu pernah berdiri kantor sekretariat HMI Cabang Yogyakarta sebelum berubah menjadi bangunan Whiz Hotel pada medio tahun 2000-an.
Berpose di depan jl. Dagen 16 yang kini telah berubah menjadi bangunan Whiz Hotel
Gedung Muhammadiyah di Jalan Ahmad Dahlan, tempat kantor pertama PB HMI sebelum pindah ke Jakarta pada 1951

Setelah melalui rute-rute yang telah direncanakan, para peserta jalan sehat mengakhiri acara tersebut dengan berkumpul kembali di Kantor Pelayanan Pajak di jalan Panembahan Senopati (secodiningratan) yang dilanjutkan dengan acara silaturrahmi antara alumni tua dan muda, serta penggalangan dana untuk korban bencana gempa bumi di Pidie Aceh.

Sunday, December 18, 2016

Maulid: Bid'ah*

Oleh: Nurcholis Madjid


Maulid, sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad saw. merupakan suatu hari besar yang dirayakan di mana-mana oleh seluruh dunia Islam, kecuali di Saudi Arabia. Di Saudi Arabia, perayaan maulid dianggap sebagai bidah yang haram hukumnya. Sebenarnya, di Indonesia ada juga kelompok yang menganggap maulid sebagai bid`ah, dan karena itu haram. Dikatakan bidah karena memang maulid tidak terda­pat pada zaman Rasulullah maupun pada zaman sahabat. Bahkan maulid juga tidak terdapat pada zaman tabi`in, pada zaman kekhalifahan Bani Umayah sampai khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, pada zaman imam mazdhab (Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanifah dan Idris al-Syafi`i), dan pada zaman para pengumpul hadis (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, dan Abu Dawud). Pertan­yaannya kemudian, sejak kapan maulid ini ada?

Menurut catatan sejarah Islam, pernah terjadi perang antara umat Islam dengan umat Kristen Eropa yang dikenal dengan perang Salib. Perang ini berjalan cukup lama dan tidak satu pun kelompok yang memperoleh kemenan­gan atau menderita kekalahan secara permanen. Begitu lamanya perang Salib ini, sehingga kemenangan dan kekala­han silih berganti dialami masing-masing kelompok.

Lahirnya perang yang berkepanjangan ini, disinyalir sebagai akibat dari tindakan-tindakan Bani Saljuk (ketur­unan Turki dari Asia Tengah dengan ras Mongolaid) yang boleh disebut provokatif. Pada mulanya, Bani Saljuk menyerbu daerah-daerah Islam hanya dengan niat untuk menjarah, merampas kekayaan, dan melampiaskan nafsu berkuasa. Proto­tipe ini dapat dilihat dari tindakan-tindakan Jengis Khan dan Timur Lenk yang kegemarannya adalah menumpuk tengkorak manusia sampai menjadi piramid.

Orang-orang Mongol yang datang dengan kebengisan dan mengobarkan peperangan yang luar biasa akibat pengua­saan teknik penggunaan kuda, dilihat dari segi fisik memang cakap, tetapi secara ideologis mereka lemah, se­hingga secara ajaib malah masuk Islam. Karena itu, menurut istilah sosiologi agama, mereka menderita convert complex (tingkah laku keagamaan ekstrem yang biasanya dialami oleh pemeluk baru agama [dalam Islam, mu'allaf]). Keekstreman orang-orang Mongol tampak ketika Bani Saljuk berhasil merebut Yerusalem dan melarang orang Kristen memasukinya. Tindakan ini berlawanan dengan kebiasaan ketika Yerusalem berada di tangan orang-orang Islam Arab yang membebaskan orang-orang Kristen masuk al-Quds atau al-Bait al-Maqdis di Yerusalem. Pelarangan orang Kristen masuk Yerusalem inilah yang dapat menimbulkan provokasi.

Menanggapi pelarangan tersebut, Paus yang ada di Roma mengumumkan kepada seluruh pengikut Kristen bahwa barang siapa bersukarela untuk pergi ke Yerusalem dia dijamin masuk surga. Dengan iming-iming jaminan masuk surga, orang Kristen Eropa berbondong-bondong menyerbu daerah Islam, terutama Syria, di mana Yerusalem berada. Orang-orang Salib yang datang adalah orang-orang biasa, sehingga yang dijadikan sasaran bukan semata orang Islam. Ketika melewati daerah Konstantinopel yang masih Kristen pun mereka jadikan sasaran. Dari sinilah Perang Saling yang berkepanjangan dan sangat melelahkan itu dimulai.
Bagi tentara Salib, bukan semata maklumat Paus dengan iming-iming masuk surga yang mendasari semangat juang menduduki daerah Islam. Ada sesuatu lain yang menja­di sumber kekuatan mereka, peringatan Natal. Peringatan Natal (kelahiran Isa al-Masih [mîlâd al-Masîh]) selalu diperingati tentara Salib sebagai suatu momen untuk membangkitkan semangat juang mereka, untuk mengingatkan bahwa mereka berada dalam perjuangan suci dalam menegakkan kebenaran.

Adalah Shalahuddin al-Ayyubi, seorang sultan dari Mesir yang sangat bijaksana dan cerdas, menjadi salah seorang panglima pasukan Islam dalam Perang Salib yang membawa kemenangan. Baginya, perang bukanlah sekedar mengandalkan kekuatan pasukan dan strategi. Lebih penting dari itu, semangat juang harus selalu dipertahankan dan bahkan kalau mungkin ditingkatkan. Karenanya, al-Ayyubi tidak segan-segan untuk mengambil pelajaran dari peringa­tan Natal tentara Salib dengan mengadakan peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. Atas idenya tersebut kemudian maulid diperingati sampai sekarang.

Latar belakang kelahirannya yang ditujukan untuk membangkitkan semangat juang pasukan Islam, maka yang dibaca di dalamnya adalah al-maghâzî, yaitu cerita-cerita perang Nabi saw. Di dalamnya berisi tentang bagaimana Nabi mengorganisir tentaranya dalam perang Badar, bagaimana perang Uhud, bagaimana perang Khandak, bagaimana Makkah itu sendiri ditaklukkan pada yaum al-fath, dan cerita-cerita heroik mengenai para sahabatnya. Pembacaan al-maghâzî seolah-olah dimaksudkan untuk mengingatkan pasukan Islam waktu itu, bahwa Nabi saw. adalah seorang jendral dan ahli perang (stragtech), dan para sahabat adalah tentara-tentara yang tidak pernah mengenal kalah.

Dengan peringatan maulid, semangat juang pasukan Islam termotivasi untuk bangkit. Mereka memerangi tentara Salib dengan semangat yang tinggi, dan berhasil mengusirn­ya dari dunia Islam untuk selamanya. Inilah permulaan dari akhir perang Salib.

Sebagian besar ulama mengetahui sejarah lahirnya maulid seperti di atas, yang itu berarti bidah. Bagi sebagian mereka, meskipun bidah, tetapi bid'ah yang baik. Dalam istilah fiqihnya, bidah hasanah, yaitu suatu kreativitas yang baik. Karena merupakan kreativitas, maka orang berbe­da pendapat menilainya. Ada yang menerima, dan ada yang menolak. Bahkan di Saudi Arabia pun yang menganut secara resmi paham kebid`ahan maulid, masih banyak orang yang mencuri-curi untuk mengadakan maulid. Salah satunya adalah Zaki Yamani, menteri perminyakan yang kemudian dipecat Raja Fahd.


*Tulisan ini diambil dari kumpulan tulisan Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur)

Thursday, December 8, 2016

Berdialog dengan Al-Qur'an

Oleh: Dzikri Maulana*

Al-Quran adalah kitab suci umat islam, mukjizat Nabi Muhammad Saw, dan merupakan Firman Allah Swt. Al-Quran adalah pedoman sekaligus tuntunan bagi umat islam dalam menjalani hidup, di dalamnya terdapat banyak sekali kandungan tentang ketuhanan, akhlak, sejarah, hukum, akhirat, perintah dan larangan, semesta alam, makanan dan lain sebagainya, singkatnya segala sendi kehidupan terdapat dalam Al-Quran.
Melihat fenomena di masyarakat masih banyak sekali yang memandang Al-Quran hanya sebatas untuk di baca saja, bahkan ada yang begitu mensyakralkannya sehingga menjadikan Al-Quran sebagai ajimat yang diletakan di atas sela-sela pintu rumah. Namun tahukah kita bahwa Al-Quran bukan hanya sebuah bacaan saja, tetapi Al-Quran juga mengajak kita berdialog?, seperti terdapat dalam penggalan beberapa ayat Allah yang berbunyi "apakah kaian tidak melihat", "apakah kalian tidak mendengar?", "maka nikmat Tuhankamu yang manakah yang kamu dustakan?" itu adalah beberapa tamsil kutipan ayat yang mengajak kita berdialog. Dialog yang dimaksudkan adalah dialog dalam renungan kita masing-masing (alam fikir).
Tidak hanya tentang nikmat dan karunia saja, melainkan kita diajak untuk ‘berdialog' lebih jauh lagi mengenai semesta alam, segala ciptaannya, tentang kebesaran Allah dan bukti tentang kebesaran-Nya. Selain itu Al-Quran juga merupakan ‘alat konfirmasi' , di dalamnya terdapat juga ayat-ayat untuk melegitimasi tiap-tiap dari hasil dialog dan perenungan kita terhadap ayat-ayat Allah. Dialog ini bukan dialog satu arah, melainkan dua arah sehingga bersifat komunikatif. Sebagai contoh, ketika Allah dalam firmannya menyatakan bahwa "nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan" (QS. Ar-Rahman: 13) maka Al-Quran sedang mengajak kita untuk menggunakan akal kita dan memikirkan nikmat apa saja yang telah Allah berikan dan yang telah kita nikmati.
Kemudian dalam surat yang lain Al-Quran mengkonfirmasi dan melegitimasi hasil perenungan kita diatas bahwa "Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu ; dan Dia telah menundukan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai" (QS. Ibrahim: 32).
Firman Allah merupakan perumpamaan tentang realitas yang lebih tinggi dan tak terlukiskan, bahkan sejatinya bahasa manusia tertatih-tatih dan kepayahan untuk menyampaikan pesan Ilahi. Sehingga bahasa Al-Quran didesign seirama dengan intepretasi manusia, agar manusia dapat memahami kebesaran Allah (Karen Armstrong). Di dunia ini terdapat sangat banyak ragam bahasa dengan stratifikasi yang berbeda-beda. Kategori bahasa yang memiliki strata bahasa tinggi adalah bahasa yang mampu mengintepretasikan hal yang bersifat ‘imajinatif' ke dalam kata-kata atau kalimat dan bisa merepresentasikan bahasa-bahasa yang lain. Singkatnya bahasa yang mampu membahasakan apa yang sulit dibahasakan.
Dari sekian banyak bahasa yang ada di dunia Allah memiih satu bahsa saja sebagai instrument untuk menyampaikan Firmannya (Al-Quran) agar manusia dapat memahami Firman-Nya yaitu bahasa arab. Allah berfirman dalam surah Yusuf ayat 2 "Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Quran dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya". Selain memiliki strata bahasa yang sudah dijelasan diatas, secara lingustik bahasa arab juga termasuk bahasa yang mudah dipelajari. Sehingga memungkinkan orang non-arab dengan mudah mempelajarinya.

ketika kita membaca Ayat-ayat Allah dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya, maka ayat-ayat itu akan mengajak kita untuk merenungkan dan memikirkan semua isi kandungannya dengan akal dan hati kita, setelah itu Al-Quran akan mengajak kita untuk mencari ayat-ayat yang melegitimasi ayat-ayat sebelumnya juga terhadap hasil renungan kita.
Al-Quran bukan hanya sekedar bacaan untuk mencari informasi, tetapi juga dimaksudkan untuk memetik rasa tentang yang Ilahi (baca: nilai-nilai Ilahi), sehingga dianjurkan untuk tidak tergesa-gesa membacanya agar bisa menikmati dan meresapi kata demi kata yang terdapat pada ayat-ayat Allah serta mengambil ‘mutiara' yang terkandung di dalamnya.
Dalam memahami Al-Quran kita tentu harus mengrtahui seluk beluknya, seperti asbabunuzul atau sebab turunnya ayat, hadist-hadist yang bersangkutan, juga tafsif-tafsirnya agar pemahaman kita semakin komperhensif. Di Indonesia sendiri sudah banyak Al-Quran terjemah, tafsir Al-Quran yang juga terdapat terjemahan bahasa Indonesia, indeks Al-Quran, dll. Sehingga ini sangat memudahkan kita untuk memahami Al-Quran. Kita juga bisa memanfaatkan tekhnologi (dalam hal ini internet) untuk memudahkan melakukan pencarian terhadap ayat-ayat Al-Quran yang akan kita kaji. Sehingga tidak ada alasan untuk ‘menelantarkan' Al-Quran. Untuk itu mari kita perbaiki bacaan Al-Quran kita, dan mencoba berdialog dengan kalam ilahi, agar Al-Quran benar-benar kita jadikan sebagai pedoman hidup, bukan lagi sebagai slogan semata.

*Penulis adalah Sekretaris Umum HMI Ilmu Budaya UGM 2010-2011

Thursday, November 24, 2016

Tiga Pendekar dari Chicago

Oleh: Abdurrahman Wahid
Generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya.
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an. Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah  Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini.
Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?

Tulisan ini disalin ulang dari Tempo No.9/XXII 27 Maret 1993

Tuesday, October 25, 2016

Santri, Piagam Jakarta, dan Kesalahan Memahami Sejarah



      Oleh: Izzuddin*
Saya menulis goresan ini masih dalam suasana kemeriahan Hari Santri Nasional. Ya, sejak tahun lalu, 22 Oktober telah resmi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Berbahagialah para santri, dan berbahagialah bangsaku. Tidak lupa, saya sebagai mahasiswa yang pernah dididik sebagai santri mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden H. Ir. Joko Widodo.
Berbicara tentang santri, saya teringat gejolak penolakan yang datang dari saudara-saudara kita dari Muhammadiyah tahun lalu terkait pengesahan Hari Santri. Ada dua poin utama yang membuat Muhammadiyah menolak hari santri; pertama, dikhawatirkan penetapan Hari Santri bisa menyebabkan pendikotomian yang tajam dalam tubuh umat Islam, khususnya antara kaum santri dan kaum abangan. Kedua, jika Hari Santri ditetapkan berdasarkan Resolusi Jihad Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari itu artinya ditetapkan atas  kepentingan satu golongan saja (baca:NU).
Tapi lihatlah hari ini! apa yang terjadi? Apakah kekhawatiran Muhammadiyah itu terbukti? Saya rasa tidak sama sekali. Saya tidak melihat gejolak dikotomi Santri-Abangan baik di tingkat elit maupun masyarakat awam. Tidak ada yang merasa dirugikan dengan penetapan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Yang ada justru gelombang apresiasi, dukungan, serta antusiasme berbagai elemen masyarakat menyambut dan mengisinya dengan berbagai cara.
Adapun latar belakang historis penetapan Hari Santri juga tidak patut untuk dipermasalahkan. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah ulama hebat nan berjasa besar bagi bangsa. Adapun penetapan hari nasional –apapun namanya– selalu memiliki latar belakang historis yang subjektif. Tidak ada yang sifatnya kolektif-objektif. Hal ini mungkin bisa anda cek, jika anda tidak yakin dengan pendapat yang saya kemukakan. Sebut saja misalnya Hari Batik, Hari Buruh, Hari Ibu, Hari Kebangkitan Nasional, dan lain-lain. Semua keberadaannya memiliki sisi historisnya masing-masing yang selalu subjektif.
Saya pun bersyukur setelah satu tahun berlalu, suara-suara yang tak setuju dengan keputusan Presiden tersebut tak sehingar dahulu. Justru sebaliknya, kini mereka ikut mendukung dan berbahagia, bahkan berpartisipasi dalam rangkaian peringatan Hari Santri Nasional. Ibarat beberapa partai alumni KMP yang awalnya melawan Jokowi, tapi kini perlahan namun pasti justru mendukung si Presiden. Bagi saya pribadi, terbantah sudah kekhawatiran kubu Muhammadiyah akan penetapan Hari Santri sebagai Hari Nasional.
Santri adalah bagian dari NKRI. Bahkan jauh sebelum NKRI ini berdiri, kaum santri di bawah bimbingan Alim Ulama telah memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Perjalanan sejarah mengakui hal itu, bahkan Piagam Jakarta menjadi saksi bisunya.
Sangat disayangkan jika banyak yang beranggapan bahwa dibatalkannya Piagam Jakarta adalah simbol kekalahan umat Islam Indonesia atas Pancasila yang nasionalis itu. Padahal tidaklah demikian adanya, Justru Piagam Jakarta adalah bukti nyata pengorbanan umat Islam demi kemerdekaan dan persatuan bangsa yang multikultural ini.
Pancasila dan Piagam Jakarta tidak jauh berbeda, kecuali pada poin pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa (versi Pancasila) dan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya (versi Piagam Jakarta). Awalnya Piagam Jakarta dihajatkan sebagai rumusan dasar negara, lalu kemudian direvisi dan ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara hingga hari ini.
Dalam perjalanannya, Pancasila bukan tanpa onak dan duri. Beberapa kubu berangkat dari keegoisan mereka masing-masing merasa tidak puas dengan Pancasila. Muncullah pemberontakan PKI yang kemudian menjadi sejarah kelam peradaban bangsa. Mereka ingin merubah Indonesia menjadi negara komunis.
Yang terbaru --sebenarnya bukan yang baru juga--, tapi isu lama yang kembali diangkat-angkat; yaitu khilafah Islamiyyah. Sebuah sistem yang diklaim sebagai pemerintahan resmi dalam Islam, meskipun al-Qur’an sendiri tidak secara spesifik menyebut sistem khilafah harus diterapkan secara formalistik dalam sistem pemerintahan kaum Muslimin. Al- Qur’an tak pernah secara eksplisit menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah. Sistem ini tidak ada dalam al-Qur’an. Negara yang disebut dalam al-Qur’an ada dua; Negara Tayyibah dan Negara Khabitsah. Kenapa hal tersebut tidak disebutkan? Bismillah, semoga hipotesa saya benar, itulah kehebatan al-Qur’an. Al-Qur’an tahu bahwa tidak semua negara dan bangsa di dunia ini cocok menggunakan sistem pemerintahan Islam yang sejenis khilafah itu. Di Timur Tengah, dengan budaya dan karakteristik khusus masyarakatnya mungkin cocok, tapi belum tentu demikian dengan Indonesia yang memiliki budaya dan karakteristik yang berbeda dan beragam.
Para pendiri negara kita adalah Ulama-Ulama jempolan. Mereka bukan orang bodoh. KH. Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH. Abdul Kahar Muzakkir. Beliau-beliau bukan ulama sembarangan. Beliau tahu mana yang terbaik untuk bangsa dan negara yang tidak bertentangan dengan agama Islam.
Lantas kenapa Pancasila diterima oleh kalangan ulama-santri? Karena Pancasila itu sudah merepresentasikan Islam itu sendiri. Kenapa demokrasi yang produk barat itu diadopsi di Indonesia? Karena demokrasi (yang konon katanya dari Barat) sudah disintesis-kan dengan Pancasila dan melahirkan sistem Demokrasi Pancasila. Demokrasi, sebagaimana kita ketahui, sudah merepresentasikan nilai-nilai Islam. Mulai dari memilih pemimpin, menjalankan roda pemerintahan, hingga mekanisme pengambilan keputusan, kesemuanya mengggunakan asas musyawarah (meskipun banyak diselewengkan). Dan Islam menganjurkan musyawarah. Kurang Islami apalagi Pancasila?
Kalau saya perhatikan sekilas, mereka yang tidak setuju dengan Pancasila mayoritas berangkat dari ketidakpuasaan terhadap implementasi dari amanat-amanat UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Keadilan Sosial yang selalu kalah dengan uang dan kepentingan individu maupun kelompok. Semua itu, menurut hemat saya, berada dalam ranah permukaan. Jadi jangan salahkan sistemnya, tapi orang yang menjalankan sistem tersebut. Bukan sistemnya yang harus diganti tapi subjek yang menjalankan sistem tersebut yang harus direvolusi mental.
Sejarah piagam Jakarta menjadi Pancasila bukanlah kekalahan umat Islam. Namun di situlah Umat Islam Indonesia berjiwa besar dengan berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa secara keseluruhan dibanding keegoisan akan eksistensi agamanya sendiri. Para pendiri bangsa paham bahwa Islam yang terbaik adalah Islam rahmatan lil ‘alamin bukan rahmatan lil muslimin saja. Maka umat Islam Indonesia harus mampu mengayomi kala jadi mayoritas dan bisa memposisikan diri saat jadi minoritas.
Kalau dulu resolusi jihad bagi ulama dan santri digaungkan dalam konteks mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan. Maka kini saatnya untuk santri berjihad sesuai dengan kondisi zaman. Berjihad untuk mengisi kemerdekaan dengan menjaganya dari orang-orang rakus yang ingin menguasai seluruh kekayaan alam negeri ini.
Santri bukanlah mereka yang hanya mengaji  Qur’an saja, tapi juga menghormati kala sahabat-sahabat Kristiani tengah beribadah di Gereja. Santri bukan hanya yang diam di masjid saja, tapi yang ikut berbahagia kala kawan-kawan dari berbagai agama yang berbeda-beda beribadah di tempat Ibadahnya masing-masing dengan aman dan nyaman. Santri bukan mereka yang hanya mencintai Islam tapi memiliki naluri dan sikap cinta damai. Mereka paham bahwa Islam adalah sikap, tindakan, dan semangat berbuat baik. Bukan keegoisan untuk diakui, berebut eksistensi, dan merasa dirinya paling benar. Perbedaan itu indah jika dipandang dengan hati yang damai dan penuh syukur.
‘Isy Kariman!!! Hiduplah dengan Mulia!!
Jogjakarta, 23 Oktober 2016

*Wasekum Bidang Pembinaan Anggota HMI Ilmu Budaya UGM 2016-2017