Oleh:
Izzuddin*
Saya menulis goresan ini
masih dalam suasana kemeriahan Hari Santri Nasional. Ya, sejak tahun lalu, 22
Oktober telah resmi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Berbahagialah para santri, dan
berbahagialah bangsaku. Tidak lupa, saya sebagai mahasiswa yang pernah dididik
sebagai santri mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden H. Ir. Joko
Widodo.
Berbicara tentang santri, saya
teringat gejolak penolakan yang datang dari saudara-saudara kita dari Muhammadiyah tahun lalu
terkait pengesahan Hari Santri. Ada dua poin utama yang membuat Muhammadiyah
menolak hari santri; pertama, dikhawatirkan penetapan Hari Santri bisa
menyebabkan pendikotomian yang tajam dalam tubuh umat Islam, khususnya antara kaum santri dan kaum abangan. Kedua, jika Hari Santri ditetapkan berdasarkan Resolusi Jihad Hadratusyaikh Hasyim
Asy’ari itu artinya ditetapkan atas kepentingan satu golongan saja (baca:NU).
Tapi lihatlah hari ini! apa yang terjadi? Apakah
kekhawatiran Muhammadiyah itu terbukti? Saya rasa tidak sama sekali. Saya tidak
melihat gejolak
dikotomi Santri-Abangan baik di tingkat elit
maupun masyarakat awam. Tidak ada yang merasa dirugikan dengan penetapan Hari
Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Yang ada justru gelombang apresiasi,
dukungan, serta antusiasme berbagai elemen masyarakat menyambut dan mengisinya
dengan berbagai cara.
Adapun latar belakang historis
penetapan Hari Santri juga tidak patut untuk dipermasalahkan. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
adalah ulama hebat nan berjasa besar bagi bangsa. Adapun penetapan hari
nasional –apapun namanya– selalu memiliki latar belakang historis yang subjektif.
Tidak ada yang sifatnya kolektif-objektif. Hal ini
mungkin bisa anda cek, jika anda tidak yakin dengan pendapat yang saya
kemukakan. Sebut saja misalnya Hari Batik, Hari Buruh, Hari Ibu, Hari Kebangkitan Nasional, dan lain-lain. Semua
keberadaannya memiliki sisi historisnya
masing-masing yang selalu subjektif.
Saya pun bersyukur setelah satu
tahun berlalu,
suara-suara yang tak setuju dengan keputusan Presiden tersebut tak sehingar
dahulu. Justru sebaliknya, kini mereka ikut mendukung dan berbahagia, bahkan berpartisipasi dalam
rangkaian peringatan Hari Santri Nasional. Ibarat beberapa partai alumni KMP
yang awalnya melawan Jokowi, tapi kini perlahan namun pasti justru mendukung si
Presiden. Bagi saya pribadi, terbantah sudah kekhawatiran kubu Muhammadiyah akan penetapan
Hari Santri sebagai Hari Nasional.
Santri adalah bagian dari
NKRI. Bahkan jauh sebelum NKRI ini berdiri, kaum santri di bawah bimbingan Alim
Ulama telah memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Perjalanan sejarah mengakui hal itu, bahkan Piagam Jakarta menjadi saksi bisunya.
Sangat disayangkan jika banyak yang beranggapan
bahwa dibatalkannya Piagam Jakarta adalah simbol kekalahan umat Islam Indonesia atas
Pancasila yang nasionalis itu. Padahal tidaklah demikian adanya, Justru Piagam Jakarta adalah
bukti nyata pengorbanan umat Islam demi kemerdekaan dan persatuan bangsa yang
multikultural ini.
Pancasila dan Piagam Jakarta
tidak jauh berbeda, kecuali pada poin pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa (versi Pancasila) dan
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya
(versi Piagam Jakarta). Awalnya Piagam Jakarta dihajatkan sebagai rumusan dasar
negara, lalu kemudian direvisi dan ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar
berbangsa dan bernegara hingga hari ini.
Dalam perjalanannya, Pancasila bukan tanpa onak
dan duri. Beberapa kubu berangkat dari keegoisan mereka masing-masing merasa tidak puas dengan
Pancasila. Muncullah pemberontakan PKI yang kemudian menjadi sejarah kelam
peradaban bangsa. Mereka ingin merubah Indonesia menjadi negara komunis.
Yang terbaru --sebenarnya
bukan yang baru juga--, tapi isu lama yang kembali diangkat-angkat; yaitu khilafah
Islamiyyah. Sebuah sistem yang diklaim sebagai pemerintahan resmi dalam Islam, meskipun al-Qur’an sendiri tidak secara spesifik menyebut sistem khilafah harus
diterapkan secara formalistik dalam sistem pemerintahan kaum Muslimin. Al- Qur’an tak pernah secara
eksplisit menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah.
Sistem ini tidak ada dalam al-Qur’an. Negara yang disebut dalam al-Qur’an ada
dua; Negara Tayyibah dan Negara Khabitsah. Kenapa hal tersebut tidak
disebutkan? Bismillah, semoga hipotesa saya benar, itulah kehebatan al-Qur’an.
Al-Qur’an tahu bahwa tidak semua negara dan bangsa di dunia ini cocok
menggunakan sistem pemerintahan Islam yang sejenis khilafah
itu. Di Timur Tengah, dengan budaya dan karakteristik khusus masyarakatnya
mungkin cocok, tapi belum tentu demikian dengan Indonesia yang memiliki budaya
dan karakteristik yang berbeda dan beragam.
Para pendiri negara kita
adalah Ulama-Ulama jempolan. Mereka bukan
orang bodoh. KH. Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH. Abdul Kahar Muzakkir.
Beliau-beliau bukan ulama sembarangan. Beliau tahu mana yang terbaik untuk
bangsa dan negara yang tidak bertentangan dengan agama Islam.
Lantas kenapa Pancasila
diterima oleh kalangan ulama-santri? Karena Pancasila itu sudah
merepresentasikan Islam itu sendiri. Kenapa demokrasi yang produk barat itu diadopsi di Indonesia? Karena demokrasi (yang
konon katanya dari Barat) sudah disintesis-kan dengan Pancasila dan melahirkan
sistem Demokrasi
Pancasila. Demokrasi,
sebagaimana kita ketahui, sudah merepresentasikan nilai-nilai Islam. Mulai dari
memilih pemimpin, menjalankan roda pemerintahan, hingga mekanisme pengambilan
keputusan, kesemuanya mengggunakan asas musyawarah (meskipun banyak
diselewengkan).
Dan Islam menganjurkan musyawarah. Kurang Islami apalagi Pancasila?
Kalau saya perhatikan sekilas,
mereka yang tidak setuju dengan Pancasila mayoritas berangkat dari ketidakpuasaan
terhadap implementasi dari amanat-amanat UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas.
Keadilan Sosial yang
selalu kalah dengan uang dan kepentingan individu maupun kelompok. Semua itu, menurut hemat saya, berada
dalam ranah permukaan. Jadi jangan salahkan sistemnya, tapi orang yang
menjalankan sistem tersebut. Bukan sistemnya yang harus diganti tapi subjek yang
menjalankan sistem tersebut yang harus direvolusi mental.
Sejarah piagam Jakarta
menjadi Pancasila bukanlah kekalahan umat Islam. Namun di situlah Umat Islam Indonesia
berjiwa besar dengan berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa secara keseluruhan dibanding keegoisan akan eksistensi agamanya
sendiri. Para pendiri bangsa paham bahwa Islam yang terbaik adalah Islam rahmatan
lil ‘alamin bukan rahmatan lil muslimin saja. Maka umat Islam Indonesia harus mampu mengayomi kala
jadi mayoritas dan bisa memposisikan diri saat jadi minoritas.
Kalau dulu resolusi jihad
bagi ulama dan santri digaungkan dalam konteks mempertahankan dan
memperjuangkan kemerdekaan. Maka kini saatnya untuk santri berjihad sesuai dengan
kondisi zaman.
Berjihad untuk mengisi kemerdekaan dengan menjaganya dari orang-orang rakus yang
ingin menguasai seluruh kekayaan alam negeri ini.
Santri bukanlah mereka yang hanya
mengaji Qur’an saja, tapi juga
menghormati kala sahabat-sahabat Kristiani tengah beribadah di Gereja. Santri
bukan hanya yang diam di masjid saja, tapi yang ikut berbahagia kala
kawan-kawan dari berbagai agama yang berbeda-beda beribadah di tempat Ibadahnya
masing-masing dengan aman dan nyaman. Santri bukan mereka
yang hanya mencintai Islam tapi memiliki naluri dan sikap cinta damai. Mereka paham
bahwa Islam adalah sikap, tindakan, dan semangat berbuat baik. Bukan keegoisan
untuk diakui, berebut eksistensi, dan merasa dirinya paling benar. Perbedaan itu indah
jika dipandang dengan hati yang damai dan penuh syukur.
‘Isy Kariman!!! Hiduplah dengan Mulia!!
Jogjakarta,
23 Oktober 2016
*Wasekum Bidang Pembinaan Anggota HMI Ilmu Budaya UGM 2016-2017