Terompet Tahun Baru

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti.

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline).

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden.

Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia yang Berkepanjangan

Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.

Latihan kader 1

Bergambar bersama setelah acara Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Budaya UGM

Tuesday, October 25, 2016

Santri, Piagam Jakarta, dan Kesalahan Memahami Sejarah



      Oleh: Izzuddin*
Saya menulis goresan ini masih dalam suasana kemeriahan Hari Santri Nasional. Ya, sejak tahun lalu, 22 Oktober telah resmi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Berbahagialah para santri, dan berbahagialah bangsaku. Tidak lupa, saya sebagai mahasiswa yang pernah dididik sebagai santri mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden H. Ir. Joko Widodo.
Berbicara tentang santri, saya teringat gejolak penolakan yang datang dari saudara-saudara kita dari Muhammadiyah tahun lalu terkait pengesahan Hari Santri. Ada dua poin utama yang membuat Muhammadiyah menolak hari santri; pertama, dikhawatirkan penetapan Hari Santri bisa menyebabkan pendikotomian yang tajam dalam tubuh umat Islam, khususnya antara kaum santri dan kaum abangan. Kedua, jika Hari Santri ditetapkan berdasarkan Resolusi Jihad Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari itu artinya ditetapkan atas  kepentingan satu golongan saja (baca:NU).
Tapi lihatlah hari ini! apa yang terjadi? Apakah kekhawatiran Muhammadiyah itu terbukti? Saya rasa tidak sama sekali. Saya tidak melihat gejolak dikotomi Santri-Abangan baik di tingkat elit maupun masyarakat awam. Tidak ada yang merasa dirugikan dengan penetapan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Yang ada justru gelombang apresiasi, dukungan, serta antusiasme berbagai elemen masyarakat menyambut dan mengisinya dengan berbagai cara.
Adapun latar belakang historis penetapan Hari Santri juga tidak patut untuk dipermasalahkan. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah ulama hebat nan berjasa besar bagi bangsa. Adapun penetapan hari nasional –apapun namanya– selalu memiliki latar belakang historis yang subjektif. Tidak ada yang sifatnya kolektif-objektif. Hal ini mungkin bisa anda cek, jika anda tidak yakin dengan pendapat yang saya kemukakan. Sebut saja misalnya Hari Batik, Hari Buruh, Hari Ibu, Hari Kebangkitan Nasional, dan lain-lain. Semua keberadaannya memiliki sisi historisnya masing-masing yang selalu subjektif.
Saya pun bersyukur setelah satu tahun berlalu, suara-suara yang tak setuju dengan keputusan Presiden tersebut tak sehingar dahulu. Justru sebaliknya, kini mereka ikut mendukung dan berbahagia, bahkan berpartisipasi dalam rangkaian peringatan Hari Santri Nasional. Ibarat beberapa partai alumni KMP yang awalnya melawan Jokowi, tapi kini perlahan namun pasti justru mendukung si Presiden. Bagi saya pribadi, terbantah sudah kekhawatiran kubu Muhammadiyah akan penetapan Hari Santri sebagai Hari Nasional.
Santri adalah bagian dari NKRI. Bahkan jauh sebelum NKRI ini berdiri, kaum santri di bawah bimbingan Alim Ulama telah memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Perjalanan sejarah mengakui hal itu, bahkan Piagam Jakarta menjadi saksi bisunya.
Sangat disayangkan jika banyak yang beranggapan bahwa dibatalkannya Piagam Jakarta adalah simbol kekalahan umat Islam Indonesia atas Pancasila yang nasionalis itu. Padahal tidaklah demikian adanya, Justru Piagam Jakarta adalah bukti nyata pengorbanan umat Islam demi kemerdekaan dan persatuan bangsa yang multikultural ini.
Pancasila dan Piagam Jakarta tidak jauh berbeda, kecuali pada poin pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa (versi Pancasila) dan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya (versi Piagam Jakarta). Awalnya Piagam Jakarta dihajatkan sebagai rumusan dasar negara, lalu kemudian direvisi dan ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara hingga hari ini.
Dalam perjalanannya, Pancasila bukan tanpa onak dan duri. Beberapa kubu berangkat dari keegoisan mereka masing-masing merasa tidak puas dengan Pancasila. Muncullah pemberontakan PKI yang kemudian menjadi sejarah kelam peradaban bangsa. Mereka ingin merubah Indonesia menjadi negara komunis.
Yang terbaru --sebenarnya bukan yang baru juga--, tapi isu lama yang kembali diangkat-angkat; yaitu khilafah Islamiyyah. Sebuah sistem yang diklaim sebagai pemerintahan resmi dalam Islam, meskipun al-Qur’an sendiri tidak secara spesifik menyebut sistem khilafah harus diterapkan secara formalistik dalam sistem pemerintahan kaum Muslimin. Al- Qur’an tak pernah secara eksplisit menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah. Sistem ini tidak ada dalam al-Qur’an. Negara yang disebut dalam al-Qur’an ada dua; Negara Tayyibah dan Negara Khabitsah. Kenapa hal tersebut tidak disebutkan? Bismillah, semoga hipotesa saya benar, itulah kehebatan al-Qur’an. Al-Qur’an tahu bahwa tidak semua negara dan bangsa di dunia ini cocok menggunakan sistem pemerintahan Islam yang sejenis khilafah itu. Di Timur Tengah, dengan budaya dan karakteristik khusus masyarakatnya mungkin cocok, tapi belum tentu demikian dengan Indonesia yang memiliki budaya dan karakteristik yang berbeda dan beragam.
Para pendiri negara kita adalah Ulama-Ulama jempolan. Mereka bukan orang bodoh. KH. Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH. Abdul Kahar Muzakkir. Beliau-beliau bukan ulama sembarangan. Beliau tahu mana yang terbaik untuk bangsa dan negara yang tidak bertentangan dengan agama Islam.
Lantas kenapa Pancasila diterima oleh kalangan ulama-santri? Karena Pancasila itu sudah merepresentasikan Islam itu sendiri. Kenapa demokrasi yang produk barat itu diadopsi di Indonesia? Karena demokrasi (yang konon katanya dari Barat) sudah disintesis-kan dengan Pancasila dan melahirkan sistem Demokrasi Pancasila. Demokrasi, sebagaimana kita ketahui, sudah merepresentasikan nilai-nilai Islam. Mulai dari memilih pemimpin, menjalankan roda pemerintahan, hingga mekanisme pengambilan keputusan, kesemuanya mengggunakan asas musyawarah (meskipun banyak diselewengkan). Dan Islam menganjurkan musyawarah. Kurang Islami apalagi Pancasila?
Kalau saya perhatikan sekilas, mereka yang tidak setuju dengan Pancasila mayoritas berangkat dari ketidakpuasaan terhadap implementasi dari amanat-amanat UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Keadilan Sosial yang selalu kalah dengan uang dan kepentingan individu maupun kelompok. Semua itu, menurut hemat saya, berada dalam ranah permukaan. Jadi jangan salahkan sistemnya, tapi orang yang menjalankan sistem tersebut. Bukan sistemnya yang harus diganti tapi subjek yang menjalankan sistem tersebut yang harus direvolusi mental.
Sejarah piagam Jakarta menjadi Pancasila bukanlah kekalahan umat Islam. Namun di situlah Umat Islam Indonesia berjiwa besar dengan berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa secara keseluruhan dibanding keegoisan akan eksistensi agamanya sendiri. Para pendiri bangsa paham bahwa Islam yang terbaik adalah Islam rahmatan lil ‘alamin bukan rahmatan lil muslimin saja. Maka umat Islam Indonesia harus mampu mengayomi kala jadi mayoritas dan bisa memposisikan diri saat jadi minoritas.
Kalau dulu resolusi jihad bagi ulama dan santri digaungkan dalam konteks mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan. Maka kini saatnya untuk santri berjihad sesuai dengan kondisi zaman. Berjihad untuk mengisi kemerdekaan dengan menjaganya dari orang-orang rakus yang ingin menguasai seluruh kekayaan alam negeri ini.
Santri bukanlah mereka yang hanya mengaji  Qur’an saja, tapi juga menghormati kala sahabat-sahabat Kristiani tengah beribadah di Gereja. Santri bukan hanya yang diam di masjid saja, tapi yang ikut berbahagia kala kawan-kawan dari berbagai agama yang berbeda-beda beribadah di tempat Ibadahnya masing-masing dengan aman dan nyaman. Santri bukan mereka yang hanya mencintai Islam tapi memiliki naluri dan sikap cinta damai. Mereka paham bahwa Islam adalah sikap, tindakan, dan semangat berbuat baik. Bukan keegoisan untuk diakui, berebut eksistensi, dan merasa dirinya paling benar. Perbedaan itu indah jika dipandang dengan hati yang damai dan penuh syukur.
‘Isy Kariman!!! Hiduplah dengan Mulia!!
Jogjakarta, 23 Oktober 2016

*Wasekum Bidang Pembinaan Anggota HMI Ilmu Budaya UGM 2016-2017