Oleh: M. Yasif Femi Mifthah
Pendahuluan
Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah
munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan
dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian
luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan
dengan gerakan fundamentalisme.
©Istimewa |
Menurut Bassam Tibi, fundamentalisme merupakan gejala ideologis
yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fargmentasi, dan
benturan peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agitasi
fundamentalisme mengakibatkan kekacauan di seluruh dunia.[i]
Memang tidak gampang mendefinisikan istilah fundamentalisme untuk
masa kekinian. Sebab, term fundamentalisme dipakai oleh banyak kalangan untuk
menunjuk sesuatu dalam arti, maksud, dan tujuan yang berbeda-beda, bahkan
terkadang bertentangan. Tak ayal, interpretasi yang tumpah pun beragam.
Secara etimologi, istilah fundamentalisme berasal dari kata
fundamen, yang berarti dasar. Sedangkan secara terminologi, fundamentalisme
adalah aliran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
rigid dan literalis.[ii]
Namun demikaian istilah findamentalisme sesungguhnya cukup problematis dan
menimbulkan berbagai perbedaan. Istilah fundamendalisme tidak hanya terjadi
pada agama tertentu. Pelabelan fundamendalisme terhadap gerakan Islam semata,
seperti yang sekarang terstigma, merupakan suatu hal yang tidak tepat. Sebab, fundamentalisme
dapat berlaku pada semua agama. Dalam agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu juga
terdapat kelompok fundamentalis, yaitu mereka yang menolak butir-butir nilai
liberal, saling membunuh atas nama agama, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral
ke urusan politik dan Negara. Fundamentalisme bukanlah monopoli agama tertentu
saja.[iii]
Ekspresi dari fundamentalisme memang cukup mengerikan, berbagai
macam tindakan kekerasan atas nama agama selalu terjadi, bahkan mereka mampu
menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Kaum fundamentalisme tidak mau
dipusingkan dengan istilah demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, menjaga
kedamaian, kebebasan berbicara, atau pemisahan antara agama dan negara.[iv]
Sejarah fundamentalisme
Perspektif historis dengan melacak asal-usul istilah
fundamentalisme, sedikit banyak akan memberikan pemahaman memadai. Menurut
Karen Amstrong, akar fundamentalisme lahir pada penghujung abad ke-15 M. Pada
tahun 1492, Raja Ferdinand dan Ratu Isabelle, dua penguasa Katolik, berhasil
menaklukkan Granada. Penaklukkan ini diikuti dengan pemaksaan terhadapa kaum
Muslim dan Yahudi untuk konversi ke agama Katolik. Mereka yang menolak untuk
konversi kemudian dideportasi atau diinkuisisi. Korban utama dalam inkuisisi
ini adalah kaum Yahudi. Saat itulah kaum Yahudi memberikan respon dan
perlawanan dalam bentuk gerakan-gerakan fundamental berupa organisasi
perlawanan bawah tanah. Kaum Yahudi yang dipaksa pindah yang dipaksa pindah ke
Kristen diajak untuk kembali kepada agama Yahudi. Namun gerakan ini terus
memperoleh pengawasan yang ketat, bahkan para pelakunya dikejar-kejar oleh
eksekutor inkuisisis. Dari peristiwa inilah, fundamentalisme bias hadir dalam
setiap agama yang telah tercerabut dari akar doktrin agamanya melalui
kekerasan.[v]
Akan tetapi, istilah fundamentalisme pertama kali digunakan pada
awal abad ke-20. Mereka yang menggunakannya adalah kaum Protestan, yang
menyebut diri mereka sebagai fundamentalis. Hal ini dilakukan sebagai semacam
identitas untuk membedakan diri mereka dengan kaum Protestan lainnya yang lebih
liberal yang menurut pandangan mereka telah merusak keimanan Kristen. Kaum
fundamentalis ini ingin kembali ke dasar dan menekankan aspek fundamental dari
tradisi Kristen, yaitu suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai
pemberlakuan secara harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan
doktrin-doktrin inti tertentu. Sejak saat itulah, istilah fundamentalisme
kemudian dipakai secara serampangan untuk menyebut terhadap setiap gerakan
pembaharuan yang terjadi di berbagai agama dunia lainnya.[vi]
Adapun karakteristik yang menonjol pada fundamentalisme adalah
skripturalaisme, yaitu keyakinan secara harfiah terhadap kitab suci yang
merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak ada kesalahan .[vii]
Keyakinan semacam inilah yang kemudian dikembangkan menjadi gagasan dasar bahwa
suatu agama harus dipegang secarah kokoh dalam bentuknya yang literal dan bulat
tanpa kompromi, tanpa pelunakan, tanpa reinterpretasi, dan pengurangan.
Gerakan fundamentalisme dan konflik atas nama agama
Gerakan fundamentalime merupakan fenomena sosio-historis yang
disebabkan oleh situasi sosio-politik yang diliputi oleh kesewenangan,
kekerasan, kemiskinan dan ketertutupan. Gerakan ekstremisme lahir diakibatkan
oleh ketidakpuasan yang berlangsung dalam tubuh masyarakat, baik dalam bentuk
kezaliaman sosial, ketidakadilan ekonomi, represi budaya dan pemaksaan ideology
dan politik.[viii]
Gerakan ini kemudian menjadikan agama sebagai legitimasi atas segala
tindakannya.
Serangan para ekstremis Islam terhadapa gedung WTC dan Pentagon
pada tanggal 11 September 2001 telah mengubah dunia selamanya. Presiden George
W Bush merancang kampanye untuk melawan terorisme Internasional. Dia menyatakan
bahwa kampanye tersebut bukanlah perang melawan Islam. Malah dia berharap
mendapat dukungan dari negara-negara Muslim seperti Iran, Mesir, dan Suriah.
Tapi mungkin sungguh malang, dia menyebut tanggapan terhadap terorisme itu
sebagai perang Salib, kata-kata tersebut telah memancing kemarahan dari
kalangan Muslim.[ix]
Serangan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan dengan dalih untuk memberantas
terorisme tetap dianggap sebagai serangan Amerika terhadap dunia Islam. Serangan
tersebut dikutuk di dunia Arab sebagai “al-Salibiyyah” atau perang
Salib.[x]
Apalagi politik Amerika yang dianggap tidak adil dan berat sebelah terhadap
negara-negara Arab dan Timur yang mayoritas muslim turut andil dalam tumbuh
suburnya gerakan fundamentalisme Islam yang terus menghantui Amerika.
Sebelumnya beberapa peristiwa yang menghambat perdamaian terus
terjadi. Pada tahun 1993, penandatanganan perjanjian Oslo memberi harapan bagi
penyelesaian konflik Arab-Israel. Namun, pembunuhan Perdana Menteri Israel pada
waktu itu, Yitzak Rabin oleh seorang pemuda Yahudi fundamentalis pada tahun
1995 menunjukkan bahwa bukannya menjadi kekuatan pendamai di wilayah itu, agama
bahkan menjadi senjata ampuh untuk berjuang. Sebelumnya, kemunculan gerakan
militan Islam Hamas yang untuk pertama kalinya memasukkan dimensi keagamaan
pada perlawanan orang Palestina dengan gerakannya yang terkenal dengan Intifadah
ini telah meyakinkan Rabin, bahwa perdamaian hanyalah satu-satunya pilihan pada
saat itu. Pada tahun 1981, presiden Mesir, Anwar Sadat tewas ditembak oleh
seorang fundamentalisme Muslim karena menandatangani perjanjian Camp David.[xi]
Orang Israel dan Palestina tampak berada diambang perang
habis-habisan yang penuh bencana. Masing-masing dari mereka menghadapai
perlawanan yang amat berbahaya dari para pemeluk fanatik agama dari kedua
pihak. Para pelaku bom bunuh diri dari Hamas menyakini bahwa mereka bertempur
dalam sebuah jihad dengan semangat Saladin. Di pihak Israel, para pemukim
Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang sebagaian besar datang dari Amerika,
merasa terinspirasi oleh Zionisme religious, yang dalam hal kegiatannya penuh
semangat pada nilai-nilai Tanah Suci, begitu mirip dengan etos Perang Salib.[xii]
Hampir satu dekade setelah peristiwa 9/11, gerakan fundamentalisme
tetap marak. Gerakan fundamentalisme Islam seperti Al-Qeda tetap eksis
walaupun tokoh mereka, Usama Bin Laden
telah tewas dalam sebuah serangan khusus yang dilancarkan oleh pasukan Amerika Serikat
di sebuah rumah persembunyiannya di Pakistan pada bulan April tahun 2011 lalu.
Berbagai kelompok gerakan fundamentalis yang diduga merupakan sayap dari
Al-Qaedah bermunculan. Di Afrika ada kelompok Boko Haram yang membuat kekacauan
dengan mengebom gereja di Nigeria pada perayaan Natal.[xiii]
Di Somalia muncul kelompok As-Syabab yang selalu membuat terror di negera
tersebut.
Mantan pemimpin Iraq Saddam Husein telah ditangkap dan tewas di
tiang gantungan setelah diadili, namun peristiwa tersebut terkesan tidak
berarti, karena justru Amerika meninggalkan konflik perang saudara berbau
sektarian di Iraq setelah menduduki negara tersebut selama kurang lebih delapan
tahun. Bom bunuh diri dan serangan bersenjata selalu menghantui penduduk Iraq.
Perang saudara berbau sektarian antara kelompok Sunni, Syi’ah dan Kurdi seolah
tiada hentinya. Inilah warisan yang diberikan Amerika Serikat kepada penduduk
Iraq.[xiv]
Beginilah nasib beberapa negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika
yang terus dilandan konflik berkepanjangan atas nama kelompok dan agama.
Perdamaian yang dicita-citakan hanya angan-angan. Ratusan bahkan ribuan nyawa
manusia tak berdosa menjadi korban konflik yang tak berkesudahan.
Penutup
Pernyataan Hans Kung bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa adanya
perdamaian antar ummat beragama bukanlah isapan jempol belaka. Berbagai macam
konflik di belahan dunia, baik Barat maupun Timur, terlepas dari motif-motif
politik dan kekuasaan yang melatarbelakanginya selalu dikait-kaitkan dengan
agama. Munculnya Fundamentalisme merupakan gejala ideologis yang muncul sebagai
respon atas problem-problem globalisasi, fargmentasi, dan benturan peradaban.
Problem-problem tersebut telah menciptakan ketidakadilan ekonomi, represi
budaya, kezaliman sosial, ketertutupan dan pemaksaan ideologi.
Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan
terhadap segala bentuk ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi agama,
baik dalam bentuk modernitas, maupun tata nilai. Acuan atau tolak ukur untuk
menilai tingkat ancamannya adalah kitab suci.
[i] Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan
Islam Politik dan Kekacauan Dunia, terj. Imron Rosyidi, dkk,
(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2000), hal.8
[ii] Mahmud Amin al-Alim,”Al-Fikri al-Araby al-Mu’ashir
bayna al-uluhiyyah wa al-Almaniyah”, dalam Al-Ushuliyyah al-Islamiyyah,
(Qadhaya Fikriyah Li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), hal.10
[iii] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj.
Satrio Wahono, M. Helmi dan Abdullah Ali, (Jakarta & Bandung: Serambi &
Mizan, 2002),hal. X.
[iv] Ibid., hal.ix.
[v] Ibid., hal 3-12
[vi] Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998), hal.261
[vii] Richard T. Anton, Memahami Fundamentalisme, terj.
Muhammad Shodiq, (Surabaya:Pustaka Eureka, 2003) hal. 41
[viii] Mohamed Abed Al-Jabiri, Problem Peradaban, (Yogyakarta:
Belukar, 2004), hal.136
[ix] Karen Amstrong, Perang Suci, terj. Hikmat
Darmawan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semrsta, 2003),hal. 9
[x] Ibid., hal. 10
[xi] Ibid., hal. 10
[xii] Ibid., hal. 11
[xiii] Kompas, 27 Desember 2011
[xiv] Kompas, 16 Desember 2011
http://faisalakmad.blogspot.com/
ReplyDeleteizin share bang..boleh..???
ReplyDeleteSilakan.. terima ksih ... :)
Deleteyang jadi pertanyaan, apakah setiap ide fundamentalis selalu mengajarkan kekerasan, sebaliknya setiap ide liberal selalu mengajarkan perdamaian.. Nah disini kita perlu lebih kritis lagi, tidak bisa langsung mengatakan orang yang cenderung berprinsip fundamentalis=kekerasan apalagi sampai menghasilkan satu generalisasi bahwa setiap fundamentalis berbahaya
ReplyDeleteAnda Hobi Menebak Angka?? Anda Hobi Bermain Togel??
ReplyDeleteMari Join bersama kami di WINNING303
Dapatkan Prediksi Jitu SGP bersama kami setiap harinya.
Belum punya akun bermain?
Join sekarang yukz di WINNING303
GRATIS....
Dengan 1 User ID, Sudah Dapat Bermain 8 Jenis Games Sekaligus :
1. Sportbooks
2. Live Casino
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Poker Online
6. Sabung Ayam
7. Tembak Ikan
8. Bingo/Rng
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244