Terompet Tahun Baru

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti.

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline).

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden.

Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia yang Berkepanjangan

Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.

Latihan kader 1

Bergambar bersama setelah acara Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Budaya UGM

Tuesday, March 5, 2013

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Oleh : Adrian Raditya *)

© Istimewa
Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline). Hal tersebut menyebabkan kita tidak dapat berpikir secara jernih, bukannya melakukan yang terbaik untuk mengerjakan tugas, malah berpikir untuk mencari jalan pintas untuk mengerjakan seadanya hingga mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab kita terhadap tugas tersebut, malingering (pura-pura yang bertujuan mendapatkan hasil yang jelas, menghindari pekerjaan). Tekanan pada garis kematian (deadline) ini menimbulkan kecemasan tidak dapat menyelesaikan tugasnya,  menambah beban pikiran, stres. Mencari jalan pintas hingga berpura-pura mencari alasan. Bahkan ada orang, sebut saja Aceng Fikri, dengan keluhan fisik berulang, namun dokter tidak dapat mendiagnosa penyakitnya bahkan mengobatinya, akibat stres dan tujuan penghindaran kegagalan, mencari simpati, disebut hipochondriasis yang merupakan salah satu gangguan somatoform. Apakah kita termasuk orang seperti itu?Dalam psikologi, istilah penundaan pekerjaan tersebut disebut prokrastinasi, berarti tindakan mengganti tugas berkepentingan tinggi dengan tugas berkepentingan rendah, sehingga tugas penting pun tertunda. Psikolog sering menyebut perilaku ini sebagai mekanisme untuk mencakup kecemasan yang berhubungan dengan memulai atau menyelesaikan tugas atau keputusan apapun. Schraw, Pinard, Wadkins, dan Olafson menetapkan tiga kriteria agar suatu perilaku dapat dikelompokkan sebagai prokrastinasi: harus kontraproduktif, kurang perlu, dan menunda-nunda.

Prokrastinasi dapat mengakibatkan stres, rasa bersalah dan krisis, kehilangan produktivitas pribadi, juga penolakan sosial untuk tidak memenuhi tanggung jawab atau komitmen. Perasaan ini jika digabung dapat mendorong prokrastinasi berlebihan. Meski dianggap normal bagi manusia sampai batas tertentu, hal ini dapat menjadi masalah jika melewati ambang batas normal. Prokrastinasi kronis bisa jadi tanda-tanda gangguan psikologis terpendam.
Padahal dalam hadist Riwayat Bukhori Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memegang pundak kedua pundak saya seraya bersabda : Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “, Ibnu Umar berkata : Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu “
Pelajaran :1.     Bersegera mengerjakan pekerjaan baik dan memperbanyak ketaatan, tidak lalai dan menunda-nunda karena dia tidak tahu kapan datang ajalnya.2.     Menggunakan berbagai kesempatan dan momentum sebelum hilangnya berlalu.3.     Pekerjaan dunia dituntut untuk menjaga jiwa dan mendatangkan manfaat, seorang muslim hendaknya menggunakan semua itu untuk tujuan akhirat.4.     Bersungguh-sungguh menjaga waktu dan mempersiapkan diri untuk kematian dan bersegera bertaubat dan beramal shaleh. “Peliharalah waktu. Waktu laksana sebilah pedang. Jika Engkau tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu. Sejatinya, segala cita dapat digapai dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.”Manakala kita melewatkan waktu, membiarkan waktu berlalu tanpa berarti itu berarti kesia-siaan. Manfaatkanlah waktu yang telah diberikan Allah sebaik mungkin, syukuri dengan beramal, syukuri dengan melakukan pekerjaan dunia, dan akhirat serta tidak menyia-nyiakannya. Siapa yang tahu ajal kapan menjemput, siapa yang mengetahui kapan datangnya waktu kita, sedangkan kita membuang waktu. Jangan sampai kita menyesal, kawan. Mengapa ini perlu diwaspadai?Karena, Hukum Inersia (hukum newton 1) berlaku juga bagi psikologis dan perilaku manusia.Yang berbunyi : “Setiap benda akan selalu mempertahankan kedudukannya yang disebut sifat lembam benda, yaitu keadaan tetap diam atau tetap bergerak beraturan. Setiap benda akan tetap bergerak lurus beraturan atau tetap dalam keadaan diam jika tidak ada resultan”.

Semakin kita diam, menunda, kita akan larut dalam keadaan seperti itu, atau terus bergerak, bekerja, beramal, berkelanjutan, produktif. Tanpa ada dorongan, dari diri kita sendiri, kita akan tetap diam dan menunda. Jadi mulailah bergerak bekerja progresif, sekarang!

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM 2009, Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar dalam Diskusi Mingguan HMI Ilmu Budaya UGM

Monday, March 4, 2013

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Oleh: M. Yasif Femi Mifthah*)
(Ketua Umum HMI Ilmu Budaya UGM 2010-2011)

Pendahuluan
Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden. Dulu sepak bola selalu melekat dengan predikat sebagai olah raga para kaum Adam, tapi dengan perkembangan zaman, olahraga ini juga populer dikalangan kaum Hawa. Ini terbukti dengan banyaknya anak-anak dan perempuan yang datang ke stadion-stadion untuk menyaksikan langsung pertandingan seapakbola. Bahkan pertandingan resmi sepakbola wanita juga telah terselenggarakan.
Sifat dasar permainan sepakbola yang yang guyub, penuh keceriaan dalam permainan, sangat cocok dengan sifat dasar alamiah manusia yang gemar bermain, sehingga membuat olahraga ini dimainkan disudut jagad raya. Semua orang dapat memainkan olahraga ini karena tidak membutuhkan banyak atribut dan peralatan, cukup dengan bola, semua orang dapat memainkannya, bahkan di kota-kota besar yang minim lahan atau arena lapangan olahraga, sepakbola tetap bisa dimainkan di pinggir-pinggir jalan dan disudut-sudut gang sempit.
Setiap ada event akbar penyelenggaraan pertandingan sepak bola seperti Piala dunia, Piala Eropa, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol dan Liga Champion Eropa, Euforia pertandingan selalu terasa ke seluruh saentro jagad raya. Para penggemar dan maniak sepak bola rela meluangkan waktunya demi menyaksikan dan mendukung tim favoritnya baik melalui siaran Televisi maupun dengan menyaksikan langsung di stadion. Di Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar, Cafe-cafe yang mengadakan acara “nonton bareng” ramai oleh kalangan muda-mudi yang ingin menyaksikan pertandingan tim kesayangannya. Di kampung-kampung terpencil pun fenomena-fenomena serupa juga terasa, para penduknya melakukan “nonton bareng” di warung-warung kopi dan di balai-balai desa. Tak jarang kita mendengar berita, baik di media cetak maupun elektronik bentrokan antar supporter atau pendukung tim sepakbola pasca pertandingan karena tidak terima dan kecewa karena kekalahan tim kesayangannya. Hujatan dan umpatan dari para supporter harus diterima oleh para pemain dan pelatih apabila timnya tidak mampu menang. Di sepak bola, pelatih sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap prestasi sebuah tim sepakbola, harus rela mundur atau dipecat dari kursi kepelatihannya sebagai konsekuensi dari kekalahan yang diderita sebuah timnya.
Mengutip tulisan Azyumardi Azra di harian Republika (18 Juni 2011) “ Terdapat lima hal pokok yang membuat sepak bola dapat disebut sebagai Civil Religion (Agama Sipil) bila dipadukan dengan kerangka teori Robert N Bellah. Pertama, adanya pemujaan yang berbau sakral, legenda, mitos dan bahkan takhayyul terhadap kesebelasan, pemain, pelatih, dan bahkan simbol-simbol tim tertentu. Kedua, adanya berbagai ketentuan yang telah mengalami “sakralisasi” sehingga tidak lagi bisa dipersoalkan. Ketiga, adanya lembaga dan orang-orang yang menjadi “the guardian of the faith”- penjaga keimanan- sejak dari FIFA, asosiasi atau federasi sepak bola negara sampai kepada wasit dan hakim garis yang tidak pernah bisa disalahkan dan seolah harus dipandang “ma’shum”(bebas dari dosa), meski jelas-jelas mereka keliru dalam mengambil keputusan. Keempat, adanya fanatisme buta, yang menyebabkan terjadinya kekerasan atas nama sepak bola, seperti terlihat dalam “hooliganisme”. Kelima, adanya sumpah dan janji setia pada tim sepak bola tertentu, lengkap dengan “lagu suci” semacam “We are the champion”
Begitulah fenomena sepakbola sebagai olahraga mampu menyihir penduduk dunia dan bisa dikatakan telah menjadi agama kedua penduduk dunia. Dalam sejarah dan perkembangannya sepakbola tidak hanya sekedar sebagai olahraga, tapi juga sebagai alat perjuangan dan pertarungan ideologi politik. Di zaman kapitalisme modern ini, sepakbola tidak lepas dari cengkarman hebat kapitalisme, sepakbola telah menjadi alat umtuk meraih gelontoran uang dan sapi perah para pengusaha dan pemilik modal dunia.

Sejarah Pertarungan dan rivalitas tim-tim besar dalam Sepakbola Eropa
Di dalam tim-tim sepakbola Eropa, kita sudah sering mendengarkan persaingan panas dan rivalitas antara satu tim dengan tim yang lainnya. Masing-masing tim tersebut memiliki basis massa pendukung fanatik. Sebut saja Supporter tim nasional Inggris yang terkenal dengan sebutan Hooligan, bahkan karena populernya kelompok supporter ini, setiap ada kekerasan atau bentrok antar pendukung tim sepakbola selalu diberi istilah dengan Hooliganisme. Kita sudah tidak asing lagi dengan negara-negara yang mempunyai tradisi hebat dalam sepakbola Eropa seperti Inggris, Jerman, Spanyol, Belanda, Prancis, Italia dan Portugal. Negara-negara tersebut mempunyai kompetisi Liga sepak bola domestik yang berada dalam peringkat teratas versi badan sepak bola dunia FIFA. Pertarungan antar pendukung tim sepak bola di Eropa tidak hanya sekedar pertarungan biasa, tapi pertarungan tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah konflik masa lalu, baik konflik agama, ideologi, ekonomi, maupun konflik antar kelas. Di Inggris, rivalitas antara klub sepak bola Manchaster United dan Liverpool telah melegenda, aroma pertemuan kedua club bertajuk North West Derby selalu diwarnai aroma persaingan yang sangat keras, kedua pendukung tim sama-sama menganggap klub kesayangannya sebagai The King Of England. Liverpool mewakili tradisi kejayaan sepak bola Inggris, tim ini merajai inggris dan Eropa dalam kurun tahun 1970-1990. Kejayaan Liverpool mulai memudar dengan munculnya dominasi Manchester United yang merajai sepak bola Inggris mulai 1990-2011. Raihan gelar juara Liverpool di liga domestik sudah terlewati oleh Manchester United, bahkan kini gelar The King Of England telah digenggam oleh Manchester United. Pada masa-masa awalnya, rivalitas kedua club bermula dari persaingan kedua kota pada dalam bidang ekonomi era Revolusi Industri. Liverpool pada awal abad ke-19 dan 20 adalah pelabuhan penting di Inggris yang menjadi pusat perdagangan dan perbudakan. Manchester lebih sebagai kota Industri tekstil. Namun pembangunan kanal Manchester pada 1894 membuat kota tersebut mendapat akses ke laut sehinngga dapat mengimpor barang-barang tanpa melewati Liverpool. Faktor ini menjadi kebangkitan Manchester sebagai kekuatan ekonomi di North West, menyaingi Liverpool ( Bola:13-14 Oktober 2011).
Di spanyol rivalitas antara Real Madrid dan Bercelona juga merupakan sebuah legenda, tiap laga antara kedua club selalu di tonton oleh juataan pasangan mata diseluruh dunia. Pertemuan kedua club bertajuk El Classico ini selalu menjadi perhatian media-media Internasional. Aroma persaingan panas antara kedua pendukung fanatik klub ini juga tidak terlepas dari faktor perseteruan masa lalu kedua kubu. Barcelona yang berasal dari Catalunya yang pernah menjadi pusat kerajaan Aragon merupakan propinsi yang ingin memisahkan diri dari Spanyol, penduduk Catalunya tidak pernah merasa sebagai warga Spanyol. Pemerintahan Jenderal Franco dan pendukungnya yang berasal dari sayap kanan selalu menekan dan mengintimadasi penduduk Catalunya. Real Madrid sebagai klub ibukota dianggap sebagai anak kandung penguasa Spanyol dan mewakili suara penguasa saat itu. Ketika pertandingan kedua klub berlangsung, gemuruh suara pendukung Barcelona yang merupakan penduduk Catalunya bergema dengan teriakan anti Franco, karena ketika itulah satu-satunya moment dimana penduduk Catalunya menyuarakan aspirasinya ( Bolavaganza: No.117, Juli 2011).
Di Skotlandia persaingan pendukung dua tim, yaitu Glasgow Rangers dan Celtic lebih bersifat Sekterian tak kalah panas. Glasgow Rangers merepresentasikan agama Protestan dan Celtic representasi dari Katolik. Di Italia perseteruan antara kaum borjuis dan buruh juga ikut merembet ke sepakbola. klub sekota AS Roma dan Lazio selalu menampakkan aroma persaingan antara kedua kubu, kelas Borjuis merupakan pendukung Lazio dan Kelas Proletar merupakan pendukung AS Roma.

Politik dan Sepak Bola
Politik dan sepak bola adalah dua hal yang tak terpisahkan, namun banyak orang yang tidak mengetahui bahwa sepak bola menjadi alat elit-elit politik untuk mempertahankan oligarki kekuasaannya. Di Italia kekuatan politik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sepak bola. Di Italia ada ungkapan menarik yang menyebutkan bahwa, “Bila anda seorang politisi penting, ada peluang bahwa anda juga memiliki klub sepak bola. Anda mungkin juga berada di parlemen”. Kalimat-kalimat tersebut menggambarkan bagaimana para presiden klub sepak bola akan mudah mendapatkan kursi di parlemen Italia. Pemimpin fasis Italia II Duce Benitto Mussolini termasuk politisi yang memahami implikasi politik dari olahraga, Ia memanfaatkan sepak bola sebagai propaganda politik fasisme di Italia sebelum perang dunia II. (Bolavaganza: No.117, Juli 2011)
Perdana Menteri Italia yang juga merupakan presiden klub sepak bola AC Milan Silvio Berlusconi berhasil meraih kekuasaan politik sebagai Perdana Menteri Italia berkat kontribusinya yang besar pada AC Milan. Berlusconi secara terbuka mencampur adukkan sepak bola dan politik, ia memberi nama partai politiknya dengan Forza Italia, sebuah yel-yel yang sering diteriakkan oleh pendukung sepak bola dari tribun penonton yang berarti ‘Go Itali’ atau ‘Ayo Itali’ (Bolavaganza: No.117, Juli 2011).
Mantan pemimpin Libya Muammar Qaddafi sangat memahami kaitan antara politik dan sepak bola. Kekuatan uang Qaddafi yang berasal hasil dari gas alam dan minyak membuat Qaddafi kuat dan berkuasa. Dengan kekuatan uangnya, Qaddafi menjajah ekonomi Italia, salah satu negara G-8 dan Uni Eropa. Ia membeli saham perusahaan minyak Italia Eni S.p.A yang merupakan perusahaan terbesar di Italia. Selain itu Qaddafi juga mempunyai saham di Finmeccanica perusahaan terbesar kedua di Italia dalam bidang industri mesin, teknologi dan pesawat. Kedua perusahaan tersebut dikontrol langsung oleh LIA (Libyan Investmen Authority) yang diketuai secara bersama oleh Saif Al-Islam, Mu’tassim Billah dan Hannibal, tiga dari tujuh anak lelaki Qaddafi. Di sepak bola, sebelum tumbang dari kekuasaannya, Qaddafi pernah mengibarkan namanya di Italia, negara pemilik kompetisi sepak bola papan atas dunia. Ia dan keluarganya memiliki 7,5% saham di klub Juventus. Qaddafi sengaja ingin menancapkan kukunya di Italia, karena ia paham kultur Italia. Italia adalah negara yang pernah menjajah Libya sejak 1911 hingga 1940. Ia sangat mengidolakan pejuang Libya yang bernama Omar Mukhtar yang motor penggerak perjuangan Libya melawan penjajahan Italia dalam kurun 1912-1927. Qaddafi sangat memahami siapa Idris Al-Mahdi As-Sanusi, orang yang mempunyai andil dalam pembunuhan jutaan etnis Badui setelah diangkat oleh Italia sebagai Raja Idris I. Raja Idris II dan keturunannya ia tumbangkan dalam kudeta militer tak berdarah. Jadi bukan kebetulan jika Qaddafi memang sengaja ingin mencengkram ekonomi Italia (Bolavaganza: No.114, April 2011).
Pada November 2009 Aljazair dan Mesir hampir berperang karena pertandingan kualifikasi Worl Cup. Para pemimpin tertinggi badan sepak bola dunia hanya bisa diam tanpa melakukan tindakan apapun, disaat itulah Qaddafi tampil sebagai mediator untuk menengahi perselisihan kedua negara. Citra Qaddafi sebagai Raja diraja Afrika melambung tinggi, Qaddafi mengakui bahwa sepak bola adalah ajang politik (Bolavaganza: No.114, April 2011).
Kanselir Jerman sejak 2005 Angela Dorothea Merkel adalah symbol “kickerfieber” (demam bola) nomor satu di Jerman. Angela Merkel bersama para pemimpin Eropa lainnya seperti David Cameroon, Nicholas Sarkozy selalu tamapk di stadion ketika pertandingan tim nasional negaranya tengah bertanding di piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Bahkan Angela Merkel tak segan-segan untuk menyelonong masuk ke ruang ganti pemain yang dipenuhi oleh para lelaki yang sedang bertelanjang dada demi memotivasi semangan pemain. Bagi mereka sepak bola juga merupakan simbol kekuatan sebuah negara (Bolavaganza: No.115, Mei 2011).
Di Indonesia sendiri Presiden Soekarno sangat sadar bahwa prestasi olah raga sangat penting demi menjaga nama besar negara, melalui politik mercusuarnya, Soekarno mendirikan stadion sepak bola termegah dizaman tersebut, stadion tersebut kita kenal dengan nama Stadion Gelora Bung Karno.
Setali tiga uang dengan para pemimpin dunia yang lain, kita bisa melihat bagaimana Idi Amin memerintahkan pelepasan dua orang tahanan politik untuk satu laga penting demi membela Tim Nasional Uganda. Pangeran Kuwait Sheikh Fahd Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah memerintahkan Tim Nasional Kuwait untuk walk out dari lapangan hijau sebagi bagian dari protes akibat merasa dicurangi wasit dalam pertandingan piala dunia 1982 melawan Prancis (Bolavaganza: No.115, Mei 2011).
Namun sepak bola tidak selalu mengenai hal-hal yang berbau rivalitas, di Pantai Gading, sepak bola telah menjadi obat pemersatu antara kelompok yang berkonflik. Konflik politik terjadi anatara penduduk wilayah selatan yang menganggap dirinya sebagai pribumi dan penduduk pendatang yang mendiami wilayah utara. Mayoritas pemain Tim Nasional Pantai Gading yang terdiri dari dari orang utara, namun mereka dapat bersatu dengan pemain dari selatatan demi Tim Nasional. Pada tahun 2005 Para pemain Pantai Gading tidak segan-segan turun ke jalan dan melakukan orasi politik demi menyatukan dua kelompok yang bertikai (Bolavaganza: No 118, Agustus 2011). Namun sayang, lima tahun setelah itu Pantai Gading kembali bergejolak, setelah komisi pemilu Pantai Gading memutuskan Allasane Outtara sebagai pemenang, dan penguasa lama Laurent Gbagbo menolak keputusan tersebut. Masing-masing pendukung kedua kubu kembali berperang.

Sepak Bola sebagai Industri
Teori Fukuyama tentang teori akhir sejarah yang mengatakan bahwa pertarungan ideologi telah usai dengan demokrasi liberal sebagai pemenangnya. Kemenangan demokrasi juga turut berimplikasi dengan berjayanya kapitalisme. Kapitalisme telah masuk ke berbagai dimensi di kehidupan manusia, termasuk dalam sepak bola. Sepak bola mempunyai penggemar yang banyak dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Klub-klub sepak bola Eropa, sebut saja Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Chelsea, Liverpool, Arsenal, AC Milan, Inter Milan yang mempunyai basis pendukung di berbagai penjuru dunia adalah contoh klub-klub sepak bola yang meraup keuntungan dari banyaknya fans. Klub-klub sepak bola di Eropa telah menjadi industri yang menghasilkan pemasukakan uang berjuta-juta hingga miliaran dollar. Pemasukan-pemasukan tersebut didapat dari hasil penjualan tiket, sponsor, penjualan hak siar Televisi hingga hasil dari dari penjaualan cendra mata dan merchendaise klub.
Di Inggris, negara tempat lahirnya sepak bola, olahraga tak luput dari jeratan kapitalisme. Klub-klub sepak bola Inggris melebarkan sayap bisnisnya ke berbagai benua. Benua Asia merupakan sasaran yang paling banyak dituju, ini disebabkan karena benua Asia mempunyai penduduk terpadat di dunia, selain itu pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia juga sangat maju. Menurut harian Independendent Inggris yang di kutip oleh Majalah Bolavaganza (No.118, Agustus 2011) bahwa badan Liga Primer Inggris mengumumkan pendapatan mereka lewat penjaualan hak siar televisi dalam kurun 2007 hingga 2010 mencapai 627 juat Pound atau sekitar Rp 8,6 Triliun dan diperkirakan ada 201 negara di dunia yang menayangkan secara langsung pertandinagn liga Inggris. Dalam sepakbola modern klub-klub sepak bola mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: juara, kemuliaan dan uang atau goal, glory, gold. Industri sepak bola merupakan bisnis yang sangat menggiurkan, hal ini membuat para konglomerat-konglomerat kaya menginvestasikan uangnya dengan membeli saham-saham di klub-klub besar Eropa. Roman Abramovich si raja minyak dari Rusia mengakusisi klub sepakbola Inggris Chelsea F C pada tahun 2004 dengan gelontoran uang ratusan juat poundsterling. Pada tahun 2005. Pengusaha keturunan Yahudi asal Amerika Serikat Malcom Glazer membeli seluruh saham Manchester United dengan harga ratusan juta pondsterling. Dan tak mau ketinggalan, pengusaha minyak asal UEA Syeikh Mansour Al-Nahyan yang merupakan keluarga penguasa Abu Dhabi membeli seluruh saham klub Manchester City.
Untuk mempertahakan status sebagai klub besar, klub-klub elit Eropa mengeluarkan uang dengan boros hingga ratusan miliar rupiah demi membeli pemain-pemain top dunia dengan gaji yang selangit. Kebiajakan klub-klub tersebut membuat klub terjerat hutang. Menurut data yang diliris oleh majalah Bolavaganza (No.119, September 2011), imbas dari krisis keuangan Eropa juga berdampak besar pada keuangan klub. Pada bulan Agustus 2011 sebelum kompetisi dimulai terjadi pemogokan pemain di Liga Italia dan Spanyol yang diakibatkan oleh pembayaran gaji yang telat. Kasus tersebut merupakan imbas krisis di benua biru yang mana Italia dan Spanyol juga merupakan negara yang termasuk dalam kategori mengkhawatirkan. Ketika sepak bola telah berubah menjadi sebuah industri untuk meraup kapital, maka krisis keuangan Eropa turut berimbas pada keuangan klub-klub sepakbola top Eropa yang juga merupakan klub-klub papan atas dunia. Uang merupakan senjata utama klub-klub tersebut untuk meraih goal and glory. Menarik untuk kita tunggu bagaimana klub-klub sepak bola papan atas Eropa dapat bertahan di tengah badai Krisis keuangan yang melanda kawasan Eropa.

Penutup
Sepak bola bukan sekedar olahraga yang dimainkan diatas lapangan oleh 22 pemain, akan tetapi sepak bola telah melahirkan dimensi-dimensi lain dalam sejarah kehidupan manusia. Bagi rakyat kecil penikmat Sepak bola, olah raga ini merupakan hiburan yang paling menarik. Bagi pendukung dan supporter fanatik tim sepak bola, permainan ini mewakili gengsi dan fanatisme sebuah kelompok. Bagi politisi, sepak bola merupakan alat propaganda untuk mencapai tujuan politik. Sedangkan bagi pemilik modal, sepak bola merupakan ladang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sepak bola tidak hanya sekedar sebagai olahraga, tapi juga sebagai alat perjuangan dan pertarungan ideologi politik. Dizaman kapitalisme modern ini, sepakbola tidak lepas dari cengkarman hebat kapitalisme, sepakbola telah menjadi alat umtuk meraih gelontoran uang dan sapi perah para pengusaha dan pemilik modal dunia.
*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi rutin mingguan HMI Komisariat ilmu Budaya UGM pada jum’at 23 Maret 2012