Oleh: M. Yasif Femi Mifthah*)
(Ketua Umum HMI Ilmu Budaya UGM 2010-2011)
Pendahuluan
Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga
ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga
lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial,
dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan,
dari rakyat jelata hingga presiden. Dulu sepak bola selalu melekat
dengan predikat sebagai olah raga para kaum Adam, tapi dengan
perkembangan zaman, olahraga ini juga populer dikalangan kaum Hawa. Ini
terbukti dengan banyaknya anak-anak dan perempuan yang datang ke
stadion-stadion untuk menyaksikan langsung pertandingan seapakbola.
Bahkan pertandingan resmi sepakbola wanita juga telah terselenggarakan.
Sifat dasar permainan sepakbola yang yang guyub, penuh keceriaan dalam
permainan, sangat cocok dengan sifat dasar alamiah manusia yang gemar
bermain, sehingga membuat olahraga ini dimainkan disudut jagad raya.
Semua orang dapat memainkan olahraga ini karena tidak membutuhkan banyak
atribut dan peralatan, cukup dengan bola, semua orang dapat
memainkannya, bahkan di kota-kota besar yang minim lahan atau arena
lapangan olahraga, sepakbola tetap bisa dimainkan di pinggir-pinggir
jalan dan disudut-sudut gang sempit.
Setiap ada event akbar penyelenggaraan pertandingan sepak bola seperti
Piala dunia, Piala Eropa, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol dan
Liga Champion Eropa, Euforia pertandingan selalu terasa ke seluruh
saentro jagad raya. Para penggemar dan maniak sepak bola rela meluangkan
waktunya demi menyaksikan dan mendukung tim favoritnya baik melalui
siaran Televisi maupun dengan menyaksikan langsung di stadion. Di
Indonesia sendiri, terutama di kota-kota besar, Cafe-cafe yang
mengadakan acara “nonton bareng” ramai oleh kalangan muda-mudi yang
ingin menyaksikan pertandingan tim kesayangannya. Di kampung-kampung
terpencil pun fenomena-fenomena serupa juga terasa, para penduknya
melakukan “nonton bareng” di warung-warung kopi dan di balai-balai desa.
Tak jarang kita mendengar berita, baik di media cetak maupun elektronik
bentrokan antar supporter atau pendukung tim sepakbola pasca
pertandingan karena tidak terima dan kecewa karena kekalahan tim
kesayangannya. Hujatan dan umpatan dari para supporter harus diterima
oleh para pemain dan pelatih apabila timnya tidak mampu menang. Di sepak
bola, pelatih sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap
prestasi sebuah tim sepakbola, harus rela mundur atau dipecat dari kursi
kepelatihannya sebagai konsekuensi dari kekalahan yang diderita sebuah
timnya.
Mengutip tulisan Azyumardi Azra di harian Republika (18 Juni 2011) “
Terdapat lima hal pokok yang membuat sepak bola dapat disebut sebagai
Civil Religion (Agama Sipil) bila dipadukan dengan kerangka teori Robert
N Bellah. Pertama, adanya pemujaan yang berbau sakral, legenda, mitos
dan bahkan takhayyul terhadap kesebelasan, pemain, pelatih, dan bahkan
simbol-simbol tim tertentu. Kedua, adanya berbagai ketentuan yang telah
mengalami “sakralisasi” sehingga tidak lagi bisa dipersoalkan. Ketiga,
adanya lembaga dan orang-orang yang menjadi “the guardian of the faith”-
penjaga keimanan- sejak dari FIFA, asosiasi atau federasi sepak bola
negara sampai kepada wasit dan hakim garis yang tidak pernah bisa
disalahkan dan seolah harus dipandang “ma’shum”(bebas dari dosa), meski
jelas-jelas mereka keliru dalam mengambil keputusan. Keempat, adanya
fanatisme buta, yang menyebabkan terjadinya kekerasan atas nama sepak
bola, seperti terlihat dalam “hooliganisme”. Kelima, adanya sumpah dan
janji setia pada tim sepak bola tertentu, lengkap dengan “lagu suci”
semacam “We are the champion”
Begitulah fenomena sepakbola sebagai olahraga mampu menyihir penduduk
dunia dan bisa dikatakan telah menjadi agama kedua penduduk dunia. Dalam
sejarah dan perkembangannya sepakbola tidak hanya sekedar sebagai
olahraga, tapi juga sebagai alat perjuangan dan pertarungan ideologi
politik. Di zaman kapitalisme modern ini, sepakbola tidak lepas dari
cengkarman hebat kapitalisme, sepakbola telah menjadi alat umtuk meraih
gelontoran uang dan sapi perah para pengusaha dan pemilik modal dunia.
Sejarah Pertarungan dan rivalitas tim-tim besar dalam Sepakbola Eropa
Di dalam tim-tim sepakbola Eropa, kita sudah sering mendengarkan
persaingan panas dan rivalitas antara satu tim dengan tim yang lainnya.
Masing-masing tim tersebut memiliki basis massa pendukung fanatik. Sebut
saja Supporter tim nasional Inggris yang terkenal dengan sebutan
Hooligan, bahkan karena populernya kelompok supporter ini, setiap ada
kekerasan atau bentrok antar pendukung tim sepakbola selalu diberi
istilah dengan Hooliganisme. Kita sudah tidak asing lagi dengan
negara-negara yang mempunyai tradisi hebat dalam sepakbola Eropa seperti
Inggris, Jerman, Spanyol, Belanda, Prancis, Italia dan Portugal.
Negara-negara tersebut mempunyai kompetisi Liga sepak bola domestik yang
berada dalam peringkat teratas versi badan sepak bola dunia FIFA.
Pertarungan antar pendukung tim sepak bola di Eropa tidak hanya sekedar
pertarungan biasa, tapi pertarungan tersebut dilatarbelakangi oleh
sejarah konflik masa lalu, baik konflik agama, ideologi, ekonomi, maupun
konflik antar kelas. Di Inggris, rivalitas antara klub sepak bola
Manchaster United dan Liverpool telah melegenda, aroma pertemuan kedua
club bertajuk North West Derby selalu diwarnai aroma persaingan yang
sangat keras, kedua pendukung tim sama-sama menganggap klub
kesayangannya sebagai The King Of England. Liverpool mewakili tradisi
kejayaan sepak bola Inggris, tim ini merajai inggris dan Eropa dalam
kurun tahun 1970-1990. Kejayaan Liverpool mulai memudar dengan munculnya
dominasi Manchester United yang merajai sepak bola Inggris mulai
1990-2011. Raihan gelar juara Liverpool di liga domestik sudah terlewati
oleh Manchester United, bahkan kini gelar The King Of England telah
digenggam oleh Manchester United. Pada masa-masa awalnya, rivalitas
kedua club bermula dari persaingan kedua kota pada dalam bidang ekonomi
era Revolusi Industri. Liverpool pada awal abad ke-19 dan 20 adalah
pelabuhan penting di Inggris yang menjadi pusat perdagangan dan
perbudakan. Manchester lebih sebagai kota Industri tekstil. Namun
pembangunan kanal Manchester pada 1894 membuat kota tersebut mendapat
akses ke laut sehinngga dapat mengimpor barang-barang tanpa melewati
Liverpool. Faktor ini menjadi kebangkitan Manchester sebagai kekuatan
ekonomi di North West, menyaingi Liverpool ( Bola:13-14 Oktober 2011).
Di spanyol rivalitas antara Real Madrid dan Bercelona juga merupakan
sebuah legenda, tiap laga antara kedua club selalu di tonton oleh
juataan pasangan mata diseluruh dunia. Pertemuan kedua club bertajuk El
Classico ini selalu menjadi perhatian media-media Internasional. Aroma
persaingan panas antara kedua pendukung fanatik klub ini juga tidak
terlepas dari faktor perseteruan masa lalu kedua kubu. Barcelona yang
berasal dari Catalunya yang pernah menjadi pusat kerajaan Aragon
merupakan propinsi yang ingin memisahkan diri dari Spanyol, penduduk
Catalunya tidak pernah merasa sebagai warga Spanyol. Pemerintahan
Jenderal Franco dan pendukungnya yang berasal dari sayap kanan selalu
menekan dan mengintimadasi penduduk Catalunya. Real Madrid sebagai klub
ibukota dianggap sebagai anak kandung penguasa Spanyol dan mewakili
suara penguasa saat itu. Ketika pertandingan kedua klub berlangsung,
gemuruh suara pendukung Barcelona yang merupakan penduduk Catalunya
bergema dengan teriakan anti Franco, karena ketika itulah satu-satunya
moment dimana penduduk Catalunya menyuarakan aspirasinya ( Bolavaganza:
No.117, Juli 2011).
Di Skotlandia persaingan pendukung dua tim, yaitu Glasgow Rangers dan
Celtic lebih bersifat Sekterian tak kalah panas. Glasgow Rangers
merepresentasikan agama Protestan dan Celtic representasi dari Katolik.
Di Italia perseteruan antara kaum borjuis dan buruh juga ikut merembet
ke sepakbola. klub sekota AS Roma dan Lazio selalu menampakkan aroma
persaingan antara kedua kubu, kelas Borjuis merupakan pendukung Lazio
dan Kelas Proletar merupakan pendukung AS Roma.
Politik dan Sepak Bola
Politik dan sepak bola adalah dua hal yang tak terpisahkan, namun banyak
orang yang tidak mengetahui bahwa sepak bola menjadi alat elit-elit
politik untuk mempertahankan oligarki kekuasaannya. Di Italia kekuatan
politik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sepak bola. Di Italia
ada ungkapan menarik yang menyebutkan bahwa, “Bila anda seorang
politisi penting, ada peluang bahwa anda juga memiliki klub sepak bola.
Anda mungkin juga berada di parlemen”. Kalimat-kalimat tersebut
menggambarkan bagaimana para presiden klub sepak bola akan mudah
mendapatkan kursi di parlemen Italia. Pemimpin fasis Italia II Duce
Benitto Mussolini termasuk politisi yang memahami implikasi politik dari
olahraga, Ia memanfaatkan sepak bola sebagai propaganda politik fasisme
di Italia sebelum perang dunia II. (Bolavaganza: No.117, Juli 2011)
Perdana Menteri Italia yang juga merupakan presiden klub sepak bola AC
Milan Silvio Berlusconi berhasil meraih kekuasaan politik sebagai
Perdana Menteri Italia berkat kontribusinya yang besar pada AC Milan.
Berlusconi secara terbuka mencampur adukkan sepak bola dan politik, ia
memberi nama partai politiknya dengan Forza Italia, sebuah yel-yel yang
sering diteriakkan oleh pendukung sepak bola dari tribun penonton yang
berarti ‘Go Itali’ atau ‘Ayo Itali’ (Bolavaganza: No.117, Juli 2011).
Mantan pemimpin Libya Muammar Qaddafi sangat memahami kaitan antara
politik dan sepak bola. Kekuatan uang Qaddafi yang berasal hasil dari
gas alam dan minyak membuat Qaddafi kuat dan berkuasa. Dengan kekuatan
uangnya, Qaddafi menjajah ekonomi Italia, salah satu negara G-8 dan Uni
Eropa. Ia membeli saham perusahaan minyak Italia Eni S.p.A yang
merupakan perusahaan terbesar di Italia. Selain itu Qaddafi juga
mempunyai saham di Finmeccanica perusahaan terbesar kedua di Italia
dalam bidang industri mesin, teknologi dan pesawat. Kedua perusahaan
tersebut dikontrol langsung oleh LIA (Libyan Investmen Authority) yang
diketuai secara bersama oleh Saif Al-Islam, Mu’tassim Billah dan
Hannibal, tiga dari tujuh anak lelaki Qaddafi. Di sepak bola, sebelum
tumbang dari kekuasaannya, Qaddafi pernah mengibarkan namanya di Italia,
negara pemilik kompetisi sepak bola papan atas dunia. Ia dan
keluarganya memiliki 7,5% saham di klub Juventus. Qaddafi sengaja ingin
menancapkan kukunya di Italia, karena ia paham kultur Italia. Italia
adalah negara yang pernah menjajah Libya sejak 1911 hingga 1940. Ia
sangat mengidolakan pejuang Libya yang bernama Omar Mukhtar yang motor
penggerak perjuangan Libya melawan penjajahan Italia dalam kurun
1912-1927. Qaddafi sangat memahami siapa Idris Al-Mahdi As-Sanusi, orang
yang mempunyai andil dalam pembunuhan jutaan etnis Badui setelah
diangkat oleh Italia sebagai Raja Idris I. Raja Idris II dan
keturunannya ia tumbangkan dalam kudeta militer tak berdarah. Jadi bukan
kebetulan jika Qaddafi memang sengaja ingin mencengkram ekonomi Italia
(Bolavaganza: No.114, April 2011).
Pada November 2009 Aljazair dan Mesir hampir berperang karena
pertandingan kualifikasi Worl Cup. Para pemimpin tertinggi badan sepak
bola dunia hanya bisa diam tanpa melakukan tindakan apapun, disaat
itulah Qaddafi tampil sebagai mediator untuk menengahi perselisihan
kedua negara. Citra Qaddafi sebagai Raja diraja Afrika melambung tinggi,
Qaddafi mengakui bahwa sepak bola adalah ajang politik (Bolavaganza:
No.114, April 2011).
Kanselir Jerman sejak 2005 Angela Dorothea Merkel adalah symbol
“kickerfieber” (demam bola) nomor satu di Jerman. Angela Merkel bersama
para pemimpin Eropa lainnya seperti David Cameroon, Nicholas Sarkozy
selalu tamapk di stadion ketika pertandingan tim nasional negaranya
tengah bertanding di piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Bahkan Angela
Merkel tak segan-segan untuk menyelonong masuk ke ruang ganti pemain
yang dipenuhi oleh para lelaki yang sedang bertelanjang dada demi
memotivasi semangan pemain. Bagi mereka sepak bola juga merupakan simbol
kekuatan sebuah negara (Bolavaganza: No.115, Mei 2011).
Di Indonesia sendiri Presiden Soekarno sangat sadar bahwa prestasi olah
raga sangat penting demi menjaga nama besar negara, melalui politik
mercusuarnya, Soekarno mendirikan stadion sepak bola termegah dizaman
tersebut, stadion tersebut kita kenal dengan nama Stadion Gelora Bung
Karno.
Setali tiga uang dengan para pemimpin dunia yang lain, kita bisa melihat
bagaimana Idi Amin memerintahkan pelepasan dua orang tahanan politik
untuk satu laga penting demi membela Tim Nasional Uganda. Pangeran
Kuwait Sheikh Fahd Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah memerintahkan Tim Nasional
Kuwait untuk walk out dari lapangan hijau sebagi bagian dari protes
akibat merasa dicurangi wasit dalam pertandingan piala dunia 1982
melawan Prancis (Bolavaganza: No.115, Mei 2011).
Namun sepak bola tidak selalu mengenai hal-hal yang berbau rivalitas, di
Pantai Gading, sepak bola telah menjadi obat pemersatu antara kelompok
yang berkonflik. Konflik politik terjadi anatara penduduk wilayah
selatan yang menganggap dirinya sebagai pribumi dan penduduk pendatang
yang mendiami wilayah utara. Mayoritas pemain Tim Nasional Pantai Gading
yang terdiri dari dari orang utara, namun mereka dapat bersatu dengan
pemain dari selatatan demi Tim Nasional. Pada tahun 2005 Para pemain
Pantai Gading tidak segan-segan turun ke jalan dan melakukan orasi
politik demi menyatukan dua kelompok yang bertikai (Bolavaganza: No 118,
Agustus 2011). Namun sayang, lima tahun setelah itu Pantai Gading
kembali bergejolak, setelah komisi pemilu Pantai Gading memutuskan
Allasane Outtara sebagai pemenang, dan penguasa lama Laurent Gbagbo
menolak keputusan tersebut. Masing-masing pendukung kedua kubu kembali
berperang.
Sepak Bola sebagai Industri
Teori Fukuyama tentang teori akhir sejarah yang mengatakan bahwa
pertarungan ideologi telah usai dengan demokrasi liberal sebagai
pemenangnya. Kemenangan demokrasi juga turut berimplikasi dengan
berjayanya kapitalisme. Kapitalisme telah masuk ke berbagai dimensi di
kehidupan manusia, termasuk dalam sepak bola. Sepak bola mempunyai
penggemar yang banyak dan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Klub-klub
sepak bola Eropa, sebut saja Real Madrid, Barcelona, Manchester United,
Chelsea, Liverpool, Arsenal, AC Milan, Inter Milan yang mempunyai basis
pendukung di berbagai penjuru dunia adalah contoh klub-klub sepak bola
yang meraup keuntungan dari banyaknya fans. Klub-klub sepak bola di
Eropa telah menjadi industri yang menghasilkan pemasukakan uang
berjuta-juta hingga miliaran dollar. Pemasukan-pemasukan tersebut
didapat dari hasil penjualan tiket, sponsor, penjualan hak siar Televisi
hingga hasil dari dari penjaualan cendra mata dan merchendaise klub.
Di Inggris, negara tempat lahirnya sepak bola, olahraga tak luput dari
jeratan kapitalisme. Klub-klub sepak bola Inggris melebarkan sayap
bisnisnya ke berbagai benua. Benua Asia merupakan sasaran yang paling
banyak dituju, ini disebabkan karena benua Asia mempunyai penduduk
terpadat di dunia, selain itu pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia
juga sangat maju. Menurut harian Independendent Inggris yang di kutip
oleh Majalah Bolavaganza (No.118, Agustus 2011) bahwa badan Liga Primer
Inggris mengumumkan pendapatan mereka lewat penjaualan hak siar televisi
dalam kurun 2007 hingga 2010 mencapai 627 juat Pound atau sekitar Rp
8,6 Triliun dan diperkirakan ada 201 negara di dunia yang menayangkan
secara langsung pertandinagn liga Inggris. Dalam sepakbola modern
klub-klub sepak bola mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: juara,
kemuliaan dan uang atau goal, glory, gold. Industri sepak bola merupakan
bisnis yang sangat menggiurkan, hal ini membuat para
konglomerat-konglomerat kaya menginvestasikan uangnya dengan membeli
saham-saham di klub-klub besar Eropa. Roman Abramovich si raja minyak
dari Rusia mengakusisi klub sepakbola Inggris Chelsea F C pada tahun
2004 dengan gelontoran uang ratusan juat poundsterling. Pada tahun 2005.
Pengusaha keturunan Yahudi asal Amerika Serikat Malcom Glazer membeli
seluruh saham Manchester United dengan harga ratusan juta pondsterling.
Dan tak mau ketinggalan, pengusaha minyak asal UEA Syeikh Mansour
Al-Nahyan yang merupakan keluarga penguasa Abu Dhabi membeli seluruh
saham klub Manchester City.
Untuk mempertahakan status sebagai klub besar, klub-klub elit Eropa
mengeluarkan uang dengan boros hingga ratusan miliar rupiah demi membeli
pemain-pemain top dunia dengan gaji yang selangit. Kebiajakan klub-klub
tersebut membuat klub terjerat hutang. Menurut data yang diliris oleh
majalah Bolavaganza (No.119, September 2011), imbas dari krisis keuangan
Eropa juga berdampak besar pada keuangan klub. Pada bulan Agustus 2011
sebelum kompetisi dimulai terjadi pemogokan pemain di Liga Italia dan
Spanyol yang diakibatkan oleh pembayaran gaji yang telat. Kasus tersebut
merupakan imbas krisis di benua biru yang mana Italia dan Spanyol juga
merupakan negara yang termasuk dalam kategori mengkhawatirkan. Ketika
sepak bola telah berubah menjadi sebuah industri untuk meraup kapital,
maka krisis keuangan Eropa turut berimbas pada keuangan klub-klub
sepakbola top Eropa yang juga merupakan klub-klub papan atas dunia. Uang
merupakan senjata utama klub-klub tersebut untuk meraih goal and glory.
Menarik untuk kita tunggu bagaimana klub-klub sepak bola papan atas
Eropa dapat bertahan di tengah badai Krisis keuangan yang melanda
kawasan Eropa.
Penutup
Sepak bola bukan sekedar olahraga yang dimainkan diatas lapangan oleh 22
pemain, akan tetapi sepak bola telah melahirkan dimensi-dimensi lain
dalam sejarah kehidupan manusia. Bagi rakyat kecil penikmat Sepak bola,
olah raga ini merupakan hiburan yang paling menarik. Bagi pendukung dan
supporter fanatik tim sepak bola, permainan ini mewakili gengsi dan
fanatisme sebuah kelompok. Bagi politisi, sepak bola merupakan alat
propaganda untuk mencapai tujuan politik. Sedangkan bagi pemilik modal,
sepak bola merupakan ladang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sepak bola tidak hanya sekedar sebagai olahraga, tapi juga sebagai alat
perjuangan dan pertarungan ideologi politik. Dizaman kapitalisme modern
ini, sepakbola tidak lepas dari cengkarman hebat kapitalisme, sepakbola
telah menjadi alat umtuk meraih gelontoran uang dan sapi perah para
pengusaha dan pemilik modal dunia.
*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi rutin mingguan HMI Komisariat ilmu Budaya UGM pada jum’at 23 Maret 2012