Terompet Tahun Baru

Aku tertegun melihat hilir mudik orang dan lalu lalang kendaraan di jalan. Semrawut dan tidak beraturan sama sekali. Sementara langit Jogja sedari siang tadi muram dengan mendung putihnya yang tiada berganti.

Prokrastinasi; Perilaku Prokrastinator Diambang Deadline

Seringkali dalam dunia mahasiswa, kita menunda-nunda pekerjaan, berleha-leha , bersantai-santai sampai akhirnya terasa waktu mulai menyayat perlahan hingga menjerat kita dalam kondisi yang benar-benar “di garis batas kematian” (deadline).

Sepakbola : Antara Olah Raga, Agama, Industri, dan Pertarungan Ideologi Politik

Sepakbola adalah olahraga paling masyhur dan populer sejagad. Olah raga ini mempunyai penggemar paling banyak dibandingkan dengan olah raga lain. Para penggemarnya terdiri dari berbagai kalangan dan kelas sosial, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kelas buruh hingga bangsawan, dari rakyat jelata hingga presiden.

Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia yang Berkepanjangan

Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.

Latihan kader 1

Bergambar bersama setelah acara Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Budaya UGM

Thursday, February 23, 2017

DRAF MEMORI PENJELASAN BERDIRINYA HMI CABANG BULAKSUMUR SLEMAN*




Latar Belakang Pemikiran

Coba temukan sumber yang asasi, jangan hanya memetik rerantingan dan memunguti dedaunan,” nasehat Daito Kukhosai bagi penempuh jalan samurai.

Friday, January 13, 2017

Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat*

Oleh Drs H Nurcholish Madjid

Pendahuluan

DORONGAN untuk membahas masalah tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force  dalam perjuangannya. Sebuah dilema segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moril yang ampuh?

Wednesday, January 11, 2017

HMI dan Keindonesiaan Masa Depan*

Oleh: Nurcholis Madjid
Barangkali tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa HMI adalah sebuah format kecil keindonesiaan. Yakni keindonesiaan masa depan. HMI adalah sebuah Indonesia dalam miniatur. Pernyataan itu mungkin terdengar sebagai klaim yang kelewat besar, namun ada beberapa kenyataan yang dapat diajukan sebagai argumen untuk mendukung klaim itu. Tetapi di sini, disebabkan terbatasnya ruangan, kita akan mengajukan soal bahasa sebagai pendukung utama argumen ini. Pertama ialah kenyataan bahwa keindonesiaan itu sendiri sampai sekarang sebenarnya belum ada. Jiwa yang dimaksudkan dengan keindonesiaan tidak sekedar pengejawantahan politik atau teritorial semata – meskipun hal-hal itu amat penting dan mutlak- melainkan sesuatu yang lebih banyak berkaitan dengan sistem nilai,yaitu suatu pola budaya yang secara nyata membentuk nilai keindonesiaan. Ini pun tidak boleh dikacaukan dengan hal-hal formal dan konstitusional, seperti Pancasila, sebab hal-hal formal itu, lepas dari klaim-klaim yang ada, lebih banyak menunjukkan kepada cita-cita yang hendak dicapai daripada menggambarkan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Pembentukan keindonesiaan itu masih dalam proses. Terdapat beberapa ‘calon’ dari berbagai budaya lokal dan sektoral yang bakal memberi bentuk nyata kepada keindonesiaan itu. Dari yang lokal, salah satu yang sering disebut-sebut ialah budaya Jawa. Burhan Magenda, dalam wawancaranya denga Harian Kompas (14 Maret 1985) mengatakan bahwa kultur Jawa bisa jadi basis penguatan paham kebangsaan Indonesia. Alasan yang diajukan Burhan ialah bahwa untuk kuatnya kebangsaan, perlu adanya “landasan domestik yang kokoh untuk mengakomodir berbagai ideologi atau pengaruh luar yang bersifat universal”. Menurutnya, “berbeda dengan ideologi lain atau atau agama tertentu”, kultur Jawa secara empiris menunjukkan daya adaptasi dengan subkultur lainnya secara harmonis, dan kultur Jawa itu yang sekarang dominan, baik dalam sistem politik, ekonomi, maupun budaya, khususnya di kalangan elit Indonesia.
Sebenarnya pernyataan Burhan bukanlah hal baru. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, sastrawan Ashadi Siregar juga berpegang pada pendapat yang sama. Sastrawan ini sangat mengagumi wayang kulit – suatu ekspresi kultur Jawa – dan melihat di dalamnya berbagai nilai yang bisa dikembangkan mnjadi keindonesiaan. (patut dicatat bahwa baik Burhan maupun Ashadi sendiri tidak berasal dari Jawa).
"Dominasi” Jawa Sementara
Mungkin saja Burhan dan Ashadi benar. Tapi, ada beberapa hal yang harus diajukan sebagai bahan pertimbangan. Pertama ialah ‘dominasi’ kultur Jawa pada kalangan elit Indonesia itu bisa hanya bersifat sementara. Jika sampai saat ini kebanyakan anggota elit Indonesia itu berasal dari Jawa, khususnya Jawa Tengah, dan lebih khusus lagi segitiga Semarang-Yogya-Solo, maka hal itu antara lain disebabkan oleh adanya sisa-sisa sistem pendidikan kolonial yang sangat menguntungkan golongan priyai, tradisi memerintah pada kaum aristokrat Jawa itu, dan perjuangan fisik mempertahankan Republik yang mengambil daerah segitiga itu sebagai panggung utamanya. Dua yang pertama menerangkan mengapa birokrasi banyak dikuasai mereka, dan yang ketiga menerangkan asal-usul kebanyakan perwira tinggi kita sampai saat ini.
Dengan kata lain, ‘dominasi’ para pendukung kultur Jawa seperti yang diisyaratkan oleh Burhan itu, adalah disebabkan oleh menumpuknya informasi, keahlian, pengalaman dan partisipasi historis pada mereka dan bukan karena kekuatan kultur Jawa itu sendiri. Sementara pola-pola dominasi itu sendiri tidak bisa bersifat permanen – sebab, salah satu akibat kemerdekaan adalah terbaginya informasi, keahlian, pengalaman dan partisipasi itu kepada seluruh warga negara, khususnya melalui pendidikan yang terbuka – banyak hal-hal yang menjadi kelemahan kultur Jawa dan akan menghalanginya untuk menjadi bahan utama keindonesiaan. Salah satu kelemahan itu adalah tidak terpilihnya bahasa Jawa – meskipun secara kandungan kultural kaya – sebagai bahasa nasional. Pilihan itu justru jatuh, melalu proses yang amat wajar dan alami, pada bahasa melayu. Ini adalah karena kesadaran kebangsaan pada waktu itu yang melihat bahwa bahasa Jawa tidak akan mampu mendukung cita-cita keindonesiaan, suatu cita-cita yang harus diwujudkan di zaman modern. Ambillah sebagai contoh watak bahasa Jawa yang hierarkis, seperti halnya bahasa Sunda, Madura dan Bali, yang mencerminkan hakikat kultur-kultur itu. Selalu, tutuntan kulutural untuk bisa sejalan dengan kemodernan ialah egalitarianisme. Maka dibanding dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia (melayu) adalah lebih egaliter, karena itu lebih modern.
Disebabkan oleh watak yang lebih egaliter bahasa Melayu, maka ia mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman yang juga sangat egaliter. Islam menggarisbawahi egalitarinisme bahasa Melayu itu dan mengembangkannya. Bahasa melayu yang sudah “diislamkan” adalah lebih egaliter dari pada yang semula. Jadi dari sudut bahwa bahasa Melayu telah ‘menang’ terhadap bahasa Jawa, maka dapat dikatakan bahwa yang secara ‘dominan’ mengisi keindonesiaan adalah konsep egalitarianisme, bukan hirarkisme sosial, dan itu sejalan dengan keislaman. Maka kelanjutan logis dari argumen itu ialah bahwa keislaman, dan bukan kejawaan, yang kini sedang menumbuhkan diri sebagai pengisi pokok keindonesiaan.
Sebagai dukungan argumen itu lebih lanjut, kejawaan yang disebut Burhan ‘dominan’ ialah yang telah mengalami pengingonesiaan yang cukup jauh. Apalagi yang kita maksudkan kejawaan itu adalah yang ada di ibukota. Orang-orang “Jawa” (dalam arti kultural, bukan semata-mata etnis) di Jakarta adalah jauh lebih egaliter daripada mereka yang ada di komplek Semarang-Yogya-Solo. Jika penggunaan bahasa itu sendiri merupakan indikasi, rumah tangga keluarga Jawa di Jakarta, khususnya generasi muda anggota keluarga itu, sudah tidak lagi mengerti, apalagi mempelajar bahasa Jawa. Malahan, di komplek Semarang-Yogya-Solo pun bahasa Jawa itu sudah terasa mulai terdesak oleh bahasa Indonesia. Ini bisa dilihat dari bahasa yang digunakan oleh para anggota genarasi muda, khususnya kalangan terpelajar, bahkan di rumah tangga mereka. Juga dibuktikan denga kegagalan setiap usaha mengeluarkan penerbitan berkala bahasa Jawa, biarpun di Jawa Tengah sendiri.
Bukan Islam Ritual
Jika benar jalan pikiran itu, maka masa depan Indonesia ini, dalam muatan kulturalnya akan banyak ditentukan oleh pengembangan budaya keislaman. Namun masih tersisa sebuah pertanyaan “Islam yang mana?”, dalam keadaan tidak mungkin mengingkari aneka ragamnya kelompok keislaman di Indonesia, maka pertanyaan itu tidaklah mengada-ada. Jawaban atas pertanyaan itu adalah “Islam yang dipahami dengan titik berat kepada persoalan pandangan hidup dan pandangan dunia (liebenanschauung dan weltanschauung), yang lebih menyeluruh.” Ini mengisyaratkan, “tidak mungkin dengan Islam yang dipahami dengan titik berat soal ritual”, meskipun tidak berarti mengecilkan arti penting ritual dan ubudiyah. Pemahaman yang lebih menekankan pada aspek-aspek total itu, menghendaki ketenggangan yang besar berkenaan dengan aspek-aspek ritual. Segi-segi ritual itu tidak menjadi titik pusat rasa pengenalan diri sebagai kelompok, meskipun masing-masing anggota kelompok dibenarkan untuk memilik bentuk variasi ritual tertentu. (Contoh pemaham serupa itu ialah yang dilakukan H.A. Salim, yang kemudian diteruskan kepada para anggota J.I.B. Salim diketahui sangat tidak suka kepada pembahasan masalah ubudiyah, apalagi melibatkan diri dalam pertikaian khilafiyah).
Maka kita dapat dengan mantap sampai kepada ‘klaim’ kita di atas, yaitu bahwa HMI mencerminkan keindonesiaan masa depan, dan karenanya ia merupakan ‘miniatur Indonesia’. Sebab, dari sekian banyak organisasi di Indonesia, HMI adalah yang Islam dan sekaligus lebih menekankan identitas keislamannya dalam hal-hal yang lebih menyeluruh, yaitu iebenanschauung dan weltanschauung. Dan dari sekian banyak organisasi Islam, HMI adalah yang paling terlatih untuk menghadapi keanekaragaman pendapat dan pandangan dalam dirinya, dan yang paling dewasa pula untuk mencari cara pemecahan persoalan yang dihadapi. Jika demokrasi mensyaratkan adanya pluralisme yang sehat, maka HMI adalah tempat persemaian yang subur bagi usaha-usaha menumbuhkan pluralisme yang sehat itu. Hasil persemaian (baca: perkaderan) itu tidak saja dapat ditanam dengan subur di ladang kalangan Islam sendiri, tetapi juga sudah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh subur di ladang Indonesia secara keseluruhan. Hal yang terakhir ini semakin dikuatkan oleh kenyatan bahwa di antara berbagai organisasi sosial yang ada, khususnya kemahasiswaan, HMI adalah paling bersifat nasional, dalam arti kekuatan organisasinya relatif paling merata di seluruh tanah air. Juga dalam arti bahwa HMI adalah organisasi yang benar-benar bebas dari komplek-komplek pengelompokan etnis atau kedaerahan, yang biasanya hal-hal serupa itu terdapat dan muncul sebagai ancaman berbagai organisasi yang lain.
Sejalan dengan argumen itu pula, jika Indonesia harus menemukan landasan kokoh bagi banguan etika politik, sosial, dan ekonominya, maka diantara semua kekuatan kultural yang ada di Indonesia, yang paling mampu menawarkan etika itu secara nasional ialah Islam dalam pengertian di atas. Ini adalah suatu pernyataan yang tidak perlu dikaitkan dengan jargon lama politik Islam Indonesia. Ini adalah pengemukaan hal yang secara sosiologis sedang terjadi dan tumbuh, minimal semata-mata dikarenakan bahwa Islam suatu sistem paham yang paling merata di Indonesia. dan Islam yang mengindonesia itu ialah Islam yang kosmopolit, egaliter, terbuka, dan berwatak aktif, yaitu yang terdapat pada umumnya di daerah pantai pulau Jawa dan hampir semua daerah di luar Jawa. Tanpa mengingkari peranan sistem paham (dan agama) yang lain yang tentunya secara tak terhindari juga ikut mengisi keindonesiaan melalui suatu proses interaksi kultural yang alamiah, disebakan oleh dinamika ajarannya sendiri dan keudukan sosiologisnya di Indonesia, Islam tetap memegang peranan dominan.
Jika apa yang sudah terjadi selama sejarah pertumbuhannya dapat dijadikan petunjuk, maka HMI adalah bentuk embryonik keislaman – sekaligus keindonesiaan – masa depan. Wallahu a’lam


*Tulisan ini disalin dari Majalah Panji Masyarakat No 499 tahun 1986.