Friday, January 13, 2017

Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat*

Oleh Drs H Nurcholish Madjid

Pendahuluan

DORONGAN untuk membahas masalah tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force  dalam perjuangannya. Sebuah dilema segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moril yang ampuh?

Tidak bisa disatukannya (incompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa bila suatu inisiatif pembaruan telah diambil oleh sebagian umat maka sebagian yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah menunjukkan kebenaran hal itu.

Islam Yes, Partai Islam No?

Salah satu kenyataan yang menggembirakan tentang Islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya yang pesat, terutama dari segi jumlah pengikut (formil). Daerah-daerah yang dahulunya tidak mengenal agama ini sekarang mengenalnya, malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya di samping agama lainnya yang telah ada sebelumnya.

Dan kalangan dari tingkat sosial yang lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada Islam; jika tidak mengamalkan sendiri, setidak-tidaknya demikianlah dalam sikap-sikap resmi mereka. Tetapi sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta jawaban, yaitu sampai di manakah perkembangan itu akibat dari pada daya tarik yang jujur dari pada ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpinnya, lisan maupun tulisan?

Ataukah perkembangan kuantitatif Islam itu dapat dinilai sebagai tidak lebih daripada gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam? (Dan adaptasi sosial ini juga telah terjadi di zaman orde lama, sebab Presiden Soekarno pada waktu itu selalu dengan penuh kegairahan menunjukkan interesnya kepada Islam, juga kepada ideology Marxisme apa pun dugaan orang tentang motif yang ada di belakangnya).

Jawaban atas pertanyaan itu mungkin dapat diketemukan dengan meletakkan pertanyaan berikutnya: sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai dan organisasi organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam yes, partai Islam No! Jadi jika partai-partai Islam merupakan wadah daripada ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain ide-ide dan pemikiran-pemikiran itu sekarang sedang menjadi obsolete memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi bahwa partai-partai Islam itu tidak berhasil membangun image yang positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image yang sebaliknya. (Reputasi sebahagian umat Islam di bidang korupsi umpamanya makin lama makin menanjak).

Kuantitas versus Kualitas

Satu hal yang biasanya dianggap dengan sendirinya benar ialah bahwa mutu lebih penting daripada jumlah. Tapi justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang sebaliknya; lebih mementingkan jumlah dari pada mutu. 
Tidak dapat disangkal bahwa persatuan lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan perjuangan daripada pertahanan. Tetapi dapatkah persatuan itu terwujud secara dinamis dan menjadi kekuatan dinamis jika tidak didasari oleh ide-ide yang dinamis pula? (Tidak ada tindakan-tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner. Lenin). 
Betapa pun juga dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi jumlah manusia yang besar. Kelumpuhan umat Islam akhir-akhir ini antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata dari cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya yang mengharuskan adanya gerakan pembaruan ide-ide guna dapat menghilangkannya.

Liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang

Jika kita telah sampai kepada keputusan hendak melaksanakan pembaruan di kalangan umat, dari manakah kita hendak memulainya? Dalam hubungan dengan masalah ini dapatlah dikemukakan sebuah ungkapan Andre Beufre: Our traditional line of thought must go overboard, for it is now far more important to be able to look ahead than to have larger scale of force whose effectiveness is problematical. (Garis-garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh sebab sekarang ini jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan dengan ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan).

Peringatan bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok yang besar menandaskan lebih pentingnya dinamika dari pada kuantitas. Sudah tentu yang lebih baik ialah kombinasi keduanya.
Tetapi jika tidak mungkin maka pilihan harus dijatuhkan kepada salah satu di antara keduanya, dan itu haruslah dinamika. Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lainnya erat berhubungan, yaitu melepaskan diri dari pada nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi kepada masa depan. 
Nostalgia atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses yang untuk mudahnya kita namakan proses liberalisasi. Proses ini dikenakan terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya.

Sekularisasi

Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab, secularism is the name of an ideology, a new closed world view which functions very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini terutama diperlukan karena umat Islam, akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan hirarki nilai itu sering dalam keadaan terbalik, transendental menjadi temporal dan sebaliknya atau menjadi transendental semuanya, bernilai ukhrowi tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari.

Akibat dari hal itu, sudah maklum, cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.

Karena pembelaan Islam menjadi sama dengan pembelaan tradisional inilah maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hirarki nilai di kalangan kaum Muslimin telah membikinnya tidak sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.

Jadi dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.

Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan, materiil, moril maupun historis menjadi sifat kaum Muslimin.

Lebih lanjut dengan sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai Khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai Khalifah Allah itu memberikan ruangan bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggungjawab manusia atas perbuatan perbuatan itu di hadapan Tuhan.

Tetapi apa yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan salah. Dengan kata-kata lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad.

Sebenarnya pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalah-masalahnya harus dipunyai oleh seorang Muslim secara otomatis, sebagai konsekuensi yang logis daripada Tauhied. Pemutlakkan transendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.

Sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah pada hakikatnya apa yang dinamakannya syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang kongkret, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilaahy (transendental), yaitu dunia ini.

Yang dikenakan proses desakralisasi itu ialah segala objek duniawi, moril maupun materiil. Termasuk objek duniawi yang bersifat moril ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat materil ialah benda-benda.

Maka jika terdapat ungkapan Islam is Bolsjewismplus god (Iqbal), salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalah-masalahnya adalah sama dengan komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh objek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental, yaitu Allah.

Justru Islam meletakkan pandangan dunia (weltanschauung) dalam hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx). Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam dan tidak sebaliknya seperti pada ajaran matrialisme dialektika.

Intellectual Freedom atau Kebebasan Berfikir

Salah satu balai pendidikan Islam yang liberal, yaitu Balai Pendidikan Darussalam di Gontor, Ponorogo (Jawa Timur) mencantumkan sebagai motonya berfikir bebas, setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas. Di antara kebebasan-kebebasan perorangan, kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat adalah yang paling berharga.

Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk fikiran dan ide, betapapun anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira salah dan palsu, ternyata kemudian benar. 

Kenyataan itu merupakan pengalaman dari setiap gerakan pembaruan, perorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya di dalam pertentangan pikiran-pikiran, ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. 
Agaknya tidaklah sama sekali omong kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya merupakan rahmat. Kebebasan berfikir ini dengan baik sekali diterangkan oleh OW Holmes ketika dia mengatakan: The ultimate good desire is better reached by free trades in indeas that the best test of truth is the power of thought to get itself accepted competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes safely can be carried out. (kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide. Bahwa sebaik-baiknya ujian bagi suatu kebenaran ialah kekalutan fikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan di atas mana keinginan-keinginan mereka dengan selamat dapat dilaksanakan).

Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (kekuatan maknawi yang ampuh), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran yang bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari pada kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial.

Walaupun begitu masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan problema-problema itu sebaik-baiknya jika dipersesuaikan, dipersegar, diperbaharui, dan diorganisir (dikoordinir) untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan zaman sekarang. Sebagai contoh ajaran tentang syura atau musyawarah umpamanya, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama atau dekat dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat itu. Tetapi di pihak lain ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan kaum lemah, miskin dan tertindas yang terdapat di mana-mana dalam kitab suci belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam nampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang seperti halnya dengan demokrasi juga berasal dari Barat dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut.

Halangan psychologis apakah yang ada pada umat Islam jika karena bukan ketiadaan kebebasan berfikir? Karenanya kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam perkembangan masyarakat duniawi ini, dan inisiatif-inisiatif selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi-posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, kemudian Islam di-excludekan dari padanya.

Sebenarnya penting untuk diketahui bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer seseorang merebut posisi di medan pertempuran dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya, maka dalam percaturan politik yang maknawi itu mungkin saja untuk merebut posisi-posisi abstrak dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain.

Dalam hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya.

Idea of Progress dan Sikap Terbuka

Sebenarnya jika seorang Muslim itu benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai Idea of Progress sebagamana nilai-nilai kebenaran lainnya tidak perlu lagi dikemukakan, sebabnya sebenarnya telah ada padanya. Idea of progress bertitik tolak dari pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitnah dan berwatak hanief). Oleh sebab itu salah satu manifestasi tentang adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perobahan-perobahan yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi manusia. Sebetulnya sikap reaksioner dan tertutup terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah. Oleh karena itu konsistensi idea of progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom tersebut duluan itu.

Kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin kemudian memilih di antaranya mana yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran. Adalah sulit sekali untuk dimengerti bahwa justru umat Islam sekarang lebih banyak bersifat tertutup dalam sikap mentalnya, padahal kitab suci mereka menegaskan bahwa mereka harus mendengarkan ide-ide dan mengikutinya mana yang paling baik. Dan bahwa sikap terbuka adalah tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari pada Allah, sedangkan sikap tertutup sehingga berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!

Jika memang Islam itu bukan kebudayaan dan bukan pula peradaban melainkan dasar dari pada, maka kebudayaan dan peradaban Islam sendiri kemanakah hendaknya dicari bahan-bahannya untuk membangunnya jika tidak dari seluruh muka bumi berupa warisan-warisan kemanusiaan yang universal. Sejarah memberikan kesaksian tak terbantah akan hal itu. 

Umat Islam keluar dari Jazirah Arabia tidak mempunyai apa-apa kecuali iman yang teguh yang memancar dari Al-Quran dan Sunnah (asar). Kemudian di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan mereka menemukan warisan-warisan manusia baik dari Barat (Yunani, Romawi), maupun dari Timur (Persi). Kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari padang pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Karya mereka itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang dibanggakan?

Diperlukan Kelompok Pembaru yang Liberal

Di atas pentas sejarah, baik Indonesia maupun dunia, telah tampil gerakan-gerakan pembaruan. Di Indonesia kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaruan seperti Muhammadiyah, Al-Irsad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat pula dan harus kita akui dengan jujur bahwa mereka itu sekarang telah berhenti sebagai pembaru-pembaru. Mengapa?
Sebab mereka pada akhirnya telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari pada ide pembaruan itu sendiri yaitu dinamika dan progresifitas. Sebaliknya organisasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat sebagai organisasi-organisasi kontra reformasi seperti NU, Al-Washliyah, PUI dan lain-lain, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru sekalipun sikap mereka ini adalah karena desakan hukum sejarah yang tak terhindarkan, dan mereka mengambilnya tidak cukup serius atau tidak secara formil menerimanya sebagai pandangan prinsipil.

Akibatnya ialah keadaan stagnant yang secara menyeluruh menimpa umat sekarang ini: Organisasi-organisasi Islam yang pada didirikannya bersikap anti-tradisi dan sektarianisme sekarang telah menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri. Sedangkan organisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru, sekarang menerimanya, namun tidak pernah terniat menjadikannya sikap hidup yang prinsipil.

Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal. Tentang arti kata liberal telah dikemukakan di depan. Tetapi kata-kata itu mempunyai implikasinya lebih lanjut sebagai konsekuensi logisnya, yaitu non-tradisionalisme dan non-sektarianisme.

Maka di sini dituntut adanya kemampuan dan keberanian untuk setiap waktu meninjau kembali nilai kelompok (sekte). Sekali lagi, nilai-nilai itu pun tidak perlu dikemukakan lagi seandainya umat Islam konsisten dengan ajaranajaran sendiri. Sebab non-tradisionalisme tidak lain ialah kebalikan dari pada sikap kami mendapatkan bapak-bapak kami berjalan di atas suatu tata nilai dan di atas warisan-warisan mereka itulah kami memperoleh petunjuk. Sedangkan nonsektarianisme adalah kebalikan dari pada sikap setiap golongan bangga dengan apa yang ada padanya, yang keduaduanya dicela keras di dalam kitab suci.

Kembali kepada apa yang telah disinggung di muka, sebenarnya nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai yang dinamis, bukan statis. Selain daripada dasar-dasar kepercayaan (di mana yang terpenting ialah kepada Allah) dan pokokpokok ibadat, serta beberapa nilai kemasyarakatan yang sangat prinsipil dan nampak tidak berobah sepanjang masa, Islam tidak memberikan perumusan-perumusan yang menyangkut kegiatan-kegiatan duniawi secara definitif. Kecuali nilai-nilai dasar yaitu rasa taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadah kepadanya, tidak ada nilainilai yang tetap. Nilai-nilai itu ialah nilai-nilai budaya yang harus berkembang terus sesuai dengan hukum perobahan dan perkembangan (segala sesuatu selain Allah itu rusak atau berobah).

Oleh karena itu nilai-nilai Islam ialah setiap nilai yang sejalan dengan kemanusiaan atau (fitri) atau hanief dengan dilandasi taqwa kepada Allah. Nilai-nilai itu Islamis apabila ia secara asasi tidak bertentangan dengan iman dan taqwa, dan ia itu baik menurut kemanusiaan sesuai dengan perkembangannya.

Sekarang, perjuangan memperbaiki nasib umat manusia bukanlah menjadi milik monopoli umat Islam. Seluruh umat manusia dengan mempertaruhkan ration atau akal fikiran yang ada padanya, telah terlibat dalam percobaanpercobaan menemukan cara-cara yang terbaik bagi perbaikan kehidupan manusia kolektif.

Pikiran-pikiran itu pada zaman modern ini diketemukan pernyataannya dalam istilah-istilah yang sekarang banyak terdengar, seperti: demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme, dan lain-lain. Pikiran-pikiran itu betapa pun salahnya kelak ternyata dari sejarah, adalah merupakan puncak-puncak pemikiran manusia tentang kehidupan dirinya sendiri di dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelahaan gejala sosial dan historis yang realistis dan penuh keuletan berpikir.

Sekarang kita harus belajar menggunakan pikiran-pikiran itu yang terbaik menurut ukuran prinsip-prinsip Islam dan mengusahakan perkembangan selanjutnya dengan realisme yang sama dan ketekunan berfikir yang sama. Inilah hakikat makna ijtihad atau pembaruan yang kita kehendaki.

Oleh karena itu, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus menerus dari pada pemikiran yang orisinil, berlandaskan penilaian kepada gejala-gejala sosial dan sejarah yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benarbenar salahnya. Ijtihad merupakan suatu proses, di mana kesalahan pengertian akan masalah-masalahnya akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. Sungguhpun demikian, itupun masih lebih ringan dari pada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan.

Oleh karena itu tidak mungkin terjadi ijtihad dan pembaruan yang berarti jika kita tidak mempunyai organisasiorganisasi penelitian dengan dasar yang kuat, jika kita tidak mempunyai metode yang unggul untuk menganalisa situasi apa pun dan jika kita tidak mempunyai pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di tiap bidang, baik sosial maupun alam. Rasanya kita masih jauh dari keadaan yang menyenangkan itu.

Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan pembaruan adalah pekerjaan mereka dari kalangan masyarakat yang mempunyai kemampuan sebesar-besarnya untuk mengerti dan berfikir. Dengan kata-kata lain, pekerjaan dari kaum terpelajar. Maka tanggung jawab kaum terpelajar sungguh besar dan berat, di hadapan umat manusia dan sejarah ini dan di hadapan Tuhan kelak kemudian hari (di akhirat).

Untuk pekerjaan besar itu kiranya organisasi-organisasi keilmuan yang terbesar di kalangan umat Islam, yaitu Persami, HMI, dan PII, disertai GPI dapat merintis, memelopori dan melaksanakan dalam suatu bentuk hubungan yang lebih kokoh dan terkoordinir, tanpa melupakan unsur-unsur liberal lainnya dari setiap kelompok Islam yang ada. (habis)

*Makalah ini disampaikan oleh Nurcholis Madjid dalam acara Halal bi halal yang diadakan empat organisasi yaitu: Persami, HMI, PII, dan GPI di Menteng Raya pada tanggal 2 Januari 1970

0 komentar:

Post a Comment